Wednesday, May 26, 2010

Pendidikan Inklusi Anak Special Needs di Indonesia


Terlepas dari masih banyaknya kekurangan, harus jujur diapresiasi bahwa pemerintah pada masa kepemimpinan SBY-JK cukup berfikiran terbuka dan mau membuat perubahan. Salah satu yang patut dihargai adalah dicanangkannya Program Pendidikan Inklusi. Sebuah model pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah umum bersama anak-anak lain sebayanya, tidak harus di SLB.
Namun demikian, masih banyak masalah ataupun kendala yang ditemui di lapangan. Beberapa diantaranya; (1) belum bakunya sistem assessment anak berkebutuhan khusus, (2) belum terumuskannya kurikulum inklusi, sebuah kurikulum yang peka dan mau menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus anak, serta mampu memfasilitasi pengembangan potensi dan kecerdasan setiap anak termasuk anak berkebutuhan khsusu (perlu diingat bahwa setiap anak adalah cerdas di potensinya masing-masing). (3) belum tersedianya cukup sumber daya pendidik, secara kualitas maupun kuantitas, untuk melakukan pengajaran pada anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, (4) masih terbatasnya dukungan dana dari pemerintah untuk pengembangan pendidikan inklusi.


Menyangkut persoalan pertama, berbagai usaha telah dilakukan termasuk diantaranya didirikannya Asessment Center Nasional yang ditempatkan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Begitu pula menyangkut persoalan ketiga, mata kuliah pendidikan anak berkebutuhan khusus sudah dimasukkan dalam semua jurusan pendidikan dan keguruan. Proses pelatihan maupun usaha sertifikasi telah dilakukan bagi guru-guru yang menerima anak berkebutuhan khusus. Perekrutan Guru Pendamping Khusus (GPK) juga sudah dilakukan meski jumlah masih jauh dari memadai. 


Persoalan dana juga dapat diusahakan melalui kreativitas sekolah untuk menggali dana dan membangun kemitraan (base on community) guna mencukupi kebutuhannya akan sarana pengembangan kreativitas anak berkebutuhan khusus tanpa harus membebankannya pada orang tua. Pengajaran musik dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan orang tua atau masyarakat di sekitar sekolah yang memiliki ketrampilan memainkan alat musik atau bahkan memiliki alat musik sendiri. Tak terkecuali dengan pengajaran ketrampilan, olahraga, otomotif dan sebagainya. Tidak harus segalanya dibeli dan dimiliki. Namun demikian, pemerintah juga harus meningkatkan dukungannya sekalipun ada sekolah telah menjalin kemitraan.
Persoalan tersisa adalah menyangkut kurikulum. Kurikulum yang ada hanya tunggal yaitu menyamaratakan potensi anak dan menuntut anak mencapai standar kurikulum tersebut. Sebuah kurikulum yang menghendaki siswanyalah yang mengalah dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan potensi siswa. Kurikulum seperti ini sebenarnya juga berat dan kurang sesuai bagi anak-anak “normal”, terlebih lagi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Melalui kurikulum semacam ini, anak berkebutuhan khusus yang masuk sekolah inklusi bukannya mendapat pendidikan layak melainkan akan memperburuk kondisi anak karena kebutuhannya tidak terpenuhi. 
Ambil contoh seorang anak retardasi mental ataupun ber-IQ borderline (dibawah 80). 
Ketika masuk sekolah inklusi, anak seperti itu dipaksa oleh kurikulum dengan keharusan harus menguasai pelajaran. Padahal, anak-anak yang ber-IQ diatasnya saja belum tentu bisa. Menghadapi kendala ini, jika sekolah tidak menyerah dan menyerahkan kembali anak ke orang tuanya, biasanya sekolah akan melakukan berbagai rekayasa dan sangat mungkin kecurangan untuk membantu kelulusan anak.

Sering alasan yang dikemukakan adalah kebutuhan adanya angka yang dapat dijadikan tolak ukur. Alasan tersebut sepertinya lebih terlihat karena keengganan untuk repot. Padahal  alasan sesungguhya hanya masalah teknis. Jika menghendaki angka, bisa saja proses dikuantifikasi dalam bentuk angka. Banyak negara telah berhasil pula menerapkannya. Misalnya, dengan kurikulum pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi siswa yang beragam. Ada yang di bidang sains, humaniora, olahraga, seni, atau jurnalis dan banyak lagi. Pendidikan yang mencetak anak-anak yang percaya diri dengan potensinya masing-masing. Pendidikan yang menghargai jerih payah dan kreatifitas.
Pendidikan inklusi membutuhkan kurikulum yang sensitif dan luwes. Sebuah kurikulum pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi setiap siswa sepenuhnya (special needs education). Diawali dengan penyediaan beragam aktifitas dan fasilitas untuk eksplorasi potensi dan minat anak untuk kemudian selanjutnya memberikan pengajaran yang mengarahkan pada pengembangan potensi. Sehingga anak akan cukup memiliki harga diri karena memiliki sebuah kemampuan. Harapannya, anak bisa mandiri dengan kemampuan yang ia milikinya kelak. 

Dibutuhkan sebuah kurikulum yang bukan sekadar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa dan mengejar standar kurikulum semata melainkan berangkat dari penghargaan, optimisme, dan potensi positif yang dimiliki anak berkebutuhan khusus. Merujuk hal ini pula, penilaian prestasi siswa terutama anak berkebutuhan khusus juga harus mengukur capaian perkembangan potensi siswa, yakni merujuk pada proses, dan bukan pada bagaimana hasil.    

“Presiden Baru”
      
Bagaimana mengatasi persoalan-persoalan diatas? Tanggung jawab juga ada pada  pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintahlah yang mengemban amanat untuk memanfaatkan kekayaan negara guna kesejahteraan rakyat termasuk dalam hal pendidikan. Seiring dengan usainya pesta Pemilu, presiden baru akan terpilih. Namun demikian, siapapun presiden yang terpilih nantinya, perannya sebagai pimpinan pemerintahan yang harus mensejahterakan rakyat tidak kemudian berubah. 

Olah karena itu, sangat diharapkan presiden yang baru kelak dapat mencermati persoalan yang ada menyangkut pendidikan anak berkebutuhan khusus ini dengan cermat dan lebih mampu memberikan perhatiannya. Salah satunya adalah kesediaan untuk menengok kembali garis kebijakan pendidikan menyangkut kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus yang duduk di bangku sekolah inklusi. Keterbukaan diri untuk melibatkan seluruh pihak yang memiliki pengetahuan dan kompetensi di bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus sangat diperlukan. Yang terpenting kemudian adalah keberanian mengambil keputusan yang merombak kurikulum lama yang kaku dan menggantinya dengan kurikulum yang lebih menghargai potensi unik setiap anak berkebutuhan khusus, selain dukungan dana ketimbang dihabiskan untuk rekreasi ataupun belanja keperluan pejabat yang sering tidak masuk akal. Diharapkan presiden yang baru nantinya bukan hanya bisa jadi presiden bagi partainya, melainkan bagi seluruh rakyat, termasuk menjadi Presiden Anak Berkebutuhan Khusus.


M. Salis Yuniardi,  Sidang Redaksi Bestari

No comments: