Belum tersedianya guru pembimbing khusus yang berkualitas di sekolah-sekolah membuat layanan ABK di sekolah reguler tidak maksimal.
Najmiani, Kepala SDN 74 Bolang, Kecamatan Alla, mengatakan, sekolah ini mulai menerima siswa berkebutuhan khusus sejak tahun lalu. Layanan itu diberikan karena orangtua siswa yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus sulit mengakses SLB.
Di sekolah tersebut ada empat ABK, antara lain, gangguan penglihatan, autis, dan tunarungu. Para siswa berasal dari keluarga miskin dengan mata pencarian orangtua umumnya sebagai petani.
Merebaknya sekolah inklusi di Kabupaten Enrekang itu setidaknya bisa menjangkau 258 siswa ABK. Ada sekitar 80 SD yang membuka diri untuk menerima ABK meskipun tidak semuanya secara resmi ditetapkan sebagai sekolah inklusi.
Widya Prasetyanti dari HKI mengatakan, terbukanya sekolah untuk menerima ABK tumbuh dari kesadaran para pendidik dan masyarakat. Keluarga pun mulai membuka diri dan membuang rasa malu memiliki anak cacat.
Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Kabupaten Enrekang Akbar Dahali mengatakan, para pendidik di sekolah reguler perlu terus disadarkan untuk tidak membeda-bedakan siswa dalam layanan pendidikan. Sekolah reguler tidak bisa menutup mata melihat ada sejumlah ABK yang tidak bisa mengakses layanan pendidikan karena kecacatan mereka. Hingga saat ini baru sekitar 20 persen ABK yang terlayani pendidikan di SLB. Padahal, anak-anak ini juga memiliki hak yang sama untuk menikmati pendidikan demi masa depan mereka. Semangat mengembangkan pendidikan inklusi yang tumbuh di Enrekang mulai memberi harapan. Anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik pun tidak lagi terhalang untuk mengembangkan diri.
Editor: jimbon
No comments:
Post a Comment