Wednesday, May 26, 2010

DICARI, ”PRESIDEN BARU” ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


      I know that physically I am disabled but mentally I like anybody else. I can do everything like anybody else; of course yes I should do in different way….but some way or another… I am able to do like them or even better than them…. (Asley, 21 thn, tidak punya lengan dan kaki namun mampu berenang menyeberangi selat Inggris selama 40 jam tanpa henti). 
   Anak merupakan anugerah terbesar bagi setiap pasangan suami istri. Anak merupakan bukti sekaligus pengikat cinta kasih, tujuan dari kehidupan orang tua, dan tempat harapan disematkan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila setiap orang tua berharap anaknya lahir tumbuh kembang sebagai anak yang sehat dan pintar.
    Sedang bagi sebuah komunitas sangat besar yang bernama negara, anak juga merupakan harapan, dan lebih dari itu anak adalah penerus, penjaga, dan pemimpin masa depan bangsa. Karenanya pula negara tentu menginginkan anak-anak yang sehat jasmani dan rohaninya.
    Namun seringkali pula harapan-harapan ini ternyata tidaklah sesuai dengan kenyataan yang harus diterima. Anak lahir atau tumbuh dengan kondisi dan kemampuan yang berbeda dengan anak kebanyakan, dalam arti memiliki keterbatasan. Laporan WHO (2007) menyebutkan, anak-anak dengan keterbatasan ini jumlahnya diperkirakan mencapai 7% dari populasi anak, dan 85% darinya berada di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan tahun 2001, anak-anak itu mempunyai prevalansi disabilitas (angka kecacatan) yang cukup tinggi – mencapai 39 per sen dari jumlah penduduk.
    Sementara itu, pada september 1990, pemerintah Indonesia meratifikasi The Convention on The Rights of The Child yang dikeluarkan PBB. Paada artikel ke 23 dicantumkan: “a mentally or physically disabled child should enjoy a full and decent life, in conditions which ensure dignity, promote self-reliance and facilitate the child’s active participation in the community” (McConachie, 1995).
    Selanjutnya, pada tanggal 30 Maret 2007 lalu, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, bersama lebih dari 80 negara lain, menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban negara untuk mewujudkannya.
    Keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam penandatangan konvensi-konvensi tersebut tentunya bukan sekadar basa basi pergaulan masyarakat internasional. Alasannya, ikut menandatangani itu berarti Pemerintah Indonesia berjanji mengimplementasikannya dan bersedia dipantau oleh dunia Internasional dalam pelaksanaannya.
      Namun berbicara “janji” sering yang namanya manusia mudah melupakannya, terlebih sekumpulan manusia yang namanya pemerintah Indonesia. Jika dihitung sejak meratifikasi pertama kali yaitu pada tahun 1990 (sekitar 19 tahun), perubahan sikap perlakuan negara terhadap anak-anak berkebutuhan khusus terlihat tidak ada perubahan yang signifkan. Dengan kata lain sangatlah kecil dari yang sebenarnya bisa dilakukan oleh sebuah negara bernama Indonesia.
      Kesempatan pendidikan yang diberikan bagi mereka sangat sangatlah terbatas. Perlakuan khusus yang tentu memerlukan biaya besar membuat akses pendidikan yang memadai bagi mereka tidak terjangkau oleh para orang tua. Sayangnya penyebaran kecacatan lebih banyak terjadi pada menengah bawah akibat rendahnya asupan gizi dan pengetahuan kesehatan. Sedangkan pendidikan khusus semacam Sekolah Luar Biasa (SLB) yang diadakan pemerintah cenderung ala kadarnya dalam pengelolaan akibat rendahnya dana subsidi pemerintah.
      Rendahnya pendidikan semakin ditambah dengan peluang kerja yang sangat terbatas bagi mereka. Tidak ada kebijaksanaan dengan memberikan kesempatan khusus bagi mereka untuk mendapatkan kerja. Belum lagi berbicara mengenai kesejahteraan. Pendekatan yang dilakukan pemerintah lebih banyak bermodel “sinterklas” yang dengan welas asihnya memberikan kado setelah Natal, selepas Natal silahkan dipikirkan sendiri. Sebuah pendekatan yang berdasar pada keyakinan bahwa mereka adalah anak-anak cacat atau tuna, tidak memiliki potensi berdaya dan mandiri, karenanya harus dikasihani. Pendekatan yang sangat tidak manusiawi.



Sumber : M. Salis Yuniardi,  Sidang Redaksi Bestari

No comments: