Sunday, March 21, 2010

HIPERAKTIVITAS

Pengertian Hiperaktivitas
Hiperaktivitas merupakan aktivitas motorik yang tinggi dengan ciri-ciri aktivitas selalu berganti, tidak mempunyai tujuan tertentu, berulang dan tidak bermanfaat (Hallahan & Kauffman, 1994). Anak hiperaktif lebih banyak mengalami gerakan mata diluar tugasnya, sehingga gerakan menoleh lebih banyak dibandingkan anak yang lain. Gejala tersebut akan berkurang sesuai denagn bertambahnya usia dan sebagian akan menghilang pada waktu masa remaja. 2. Penyebab Hiperaktivitas Beriktu ini adalah faktor-faktor penyebab hiperaktif pada anak :

a. Faktor neurologik 1. Perilaku hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, persalinan dengan menggunakan alat bantu, dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu faktor-faktor seperti bayi yang lahir dengna berat bdan rendah, ibu yang terlalu muda, ibu yang merokok dan minum alkohol. 2. Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang neurologi yang samapi kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi minimal otak (DMO) dan minimalnya dopamin. Dopamin merupakan zat aktif yang berguna untuk mmemelihara proses konsentrasi. 3. Beberapa studi menunjukan terjadinya gangguan fungsi darah di daerah tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbital-prefrontal, daerah obrital-limbik otak, khususnya sisi otak sebelah kanan b. Faktor toksik Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memiliki potensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu, kadar timah dalam serum darah anak yang meningkat. Ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar rontgen pad saat hamil juga dapat melahirkan calon hiperaktif. c. Faktor genetik Didapatkan hbungna yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pad akeluarga dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35 % dari orang tua dan saudara yang masia kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada anak kembar. d. Faktor psikososial dan lingkungan Pada anak hiperaktif sering ditemukan hubungan yang dianggap keliru antara orang tua dengan anaknya, misalnya anak kurang diarahkan. Kurang mengontrol diri, menurut kehendak sendiri, sering gagal dalam pekerjaan, materi yang disampakan kurang menarik, diterangkan tidak mengerti, ingin bebas, kurang perhatian, anak kurang diarahkan dari di rumah, kelainan syaraf, fisik, perilaku konsultasi. 3. Gejala-gejala yang tampak
Gejala hoperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengna tenang merupakan suatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Disamping itu, ia cenderang banyak bicara dan menimbulkan suara berisik, kurang dapat mengontrol diri, kurang perhatian atau konsentrasi, keinginan untuk bebas yan kuat, atau berbuat menurut kehendak sendiri. Berikut ini gejala yang tampak pada anak hiperaktif yang dapat dilihat dari pola tingkahnya baik di rumah yang diamati oleh orang tua dan di sekolah yang diamati oleh para pendidik.
a. Di Rumah 1. Anak selalu bergerak. Ibaratnya dari bangun tidur sampai tidu kembali, tidak ada waktu untuk
“diam”.
 2. Tingkah laku anak sulit diduga, khususnya emosinya: lebih seperti rewel tanpa sebab, mudah
“meledak” hanya oleh sedikit masalah, ngambek. Bila bermain, anak cepat sekali bosan. 4. Keinginan anak harus segera dipenuhi, karena toleransinya rendah terhadap perasaan frustasi. 5. Anak sulit berkonsentrasi sewaktu menyelesaikan tugas, 6. Sering bertingkah laku seperti digerakan oleh motor. 7. Sering kesulitan melewati waktu luang dengan tengang. 3. b. Di Sekolah 1. 2. 3. Anak tidak mampu berkonsentrasi, perhatiannya mudah beralih. Gagal menyelesaikat tugas Suka berjalan-jalan dalam kelas, lari berputar dan gerak berlebihan pada situasi yang tidak tepat, seklaipun bukan waut istirahat. 4. Sulit duduk manis atau duduk dengan konsentrasi terhadap sesuatu. Reaksi yang sering dilaukan adlah suka menoleh kesana kemari, badan, tangan, atau kaki yang selalu gerak 5. Mengganggu kelas karena sering interupsi : berteriak memanggil pendidik, teman-temannya tanpa ada tujuan yang jelas. 6. Bila anak merasa lelah, maka terkadang sering melamun pada saat mengiktui program kegiatan belajar, sehingga apa yang dijelaskan oleh pendidik tidak mengerti. 7. Sering gugup atau gelisah, menggerakan tangan atau kaki atau ribut ketika disuruh duduk dalam kelas. 8. tidak mengikuti atau mengabaikan intruksi pendidik. Anak berperilaku semaunya. 9. Sulit untuk disiplin, kesulitan menunggu giliran seperti barisa saat masuk kelas. 4. Pengaruh Hiperaktivitas Terhadap Perkembangan Anak
Pengaruh yang konkrit pada anak hiperaktif adalah kurangnya perhatian terhadap pelajaran, anak sering gagal pada tugas-tugas yang diberikan. Selain itu, dalam kelas anak hiperaktif mengganggu proses belajar mengajar karena ia sering berteriak, berjalan, berlari. Pengaruhnya pada anak lain adalah merasa terganggu atau bahkan menjadi pemicu anak yang lain ikut berperilaku hiperaktif. Beberapa contoh yang sering terjadi di sekolah : a. Di sekolah ia tidak dapat duduk diam, berlari, berjalan, berputar kesana-kemari, berceloteh atau berbicara berlebihan. b. Ketika kegiatan senam, beris berbaris atau kegiatan kelompok lainnya, ia seolah muncul sendiri dengan gerak tubuh yang berbeda dengan yang lain dan bicara terus. c. Saat kegiatan belajar berlangsung sering memotong pembicaraan atau menyela, menginterupsi atau memaksa orang lain. d. ketika absen atau menunggu giliran salaman dengan pendidik ia amat sulit bersabar dan menunggu 5. Intervretasi
a. Hiperaktivitas sebagaian besar disebabkan oleh gangguan fisik, maka dalam sekolah diharuskan punya kelas khusus, karena memerlukan pengganan yang multidisipliner yaitu pendidik, orang tua dan ahli seperti dokter atau psikolog anak. b. Tetapi bila ada anak yang mengalami hiperaktivitas, pihak sekolah menyediakan neurolog, psikolog anak, dokter anak pembimbing khusus bagi anak yang hiperaktif, pendidik bersikap sabar dan program kegiatan yang dilakukan harus bersifat khusus. c. Pada saat pelaksaan proses belajar, pendidik hendaknya menggunakan teknik penguatan, yaitu menghargai setiap usaha dan keberhasilan yang dicapai oleh anak. Pendidik harus menciptakan situasi dan kondisi yang menyebabkan anak merasa berhasil, misanya memberikan tugas-tugas yang mungkin dapat dislesaikan anak dengan mudah. Dengan cara demikian anak akan merasa senang mengerjakan tugas sehingga anak tidak cepat mengalihkan kegiatan dengan kegiatan yang lain

Perilaku Hiperaktif Pada Anak

Imad (5 tahun) tidak disukai teman-temannya. Orang tua sering menjadi khawatir jika Imad mendekati anak-anaknya. Mereka yang mengamati tingkah-laku Imad sering menyatakan bahwa ia hiperaktif. Apakah sebenarnya perilaku hiperaktif ? Bagaimana cara mengatasinya ?
Hiperaktif adalah suatu pola perilaku seseorang yang menunjukkan sikap tidak mau diam, tidak menaruh perhatian dan impulsif (semaunya sendiri). Anak yang hiperaktif cenderung untuk selalu bergerak, bahkan dalam situasi yang menuntut agar mereka bersikap tenang. Mereka tidak bisa berkonsentrasi dalam waktu beberapa menit saja. Sebentar-sebentar mereka bergerak untuk pindah dari permainan yang satu ke permainan yang lain. Hal ini disebabkan karena mereka merasa tidak puas dengan kegiatan yang dilakukannya.
 Menurut Dr. Erik Taylor, perbedaan jenis kelamin dapat menentukan peluang seorang anak untuk berperilaku hiperaktif. Anak laki-laki mempunyi kemungkinan 3 sampai 4 kali lebih besar untuk menjadi hiperaktif dibanding anak perempuan. Karena masalah yang biasanya menyertei hiperaktivitas (misal sifat agresif) pada anak perempuan tidak begitu berkembang.
Anak Anda Hiperaktif ?
Seringkali orang tua terlalu dini untuk menilai anaknya hiperaktif. Vonis ini dijatuhkan begitu melihat keaktifan anaknya yang melebihi anak lain. Padahal belum tentu demikian. Dr. Erik Taylor membagi perilaku aktif yang berlebihan menjadi 3, yaitu :
1. Overaktivitas, yaitu perilaku anak yang tidak mau diam yang disebabkan kelebihan energi. Hal ini menandakan bahwa anak tersebut sehat, cerdas dan penuh semangat. Tapi overaktifitas sesaat bisa terjadi pada anak yang keaktifannya normal.
2. Hiperaktivitas, yaitu pola perilaku overaktif yang cenderung ngawur (tidak pada tempatnya).
3. Sindrom hiperkinetik, yaitu semua bentuk hiperaktifitas parah, yang menyertai jenis kelambatan lain dalam perkembangan psikologi, misalnya sikap kikuk dan kesulitan bicara. Anak yang berperilaku sangat aktif pada usia 2-3 tahun belum bisa dikatagorikan hiperaktif, karena rentang aktivitas yang dianggap normal masih besar. Baru setelah anak berusia 3 tahun keatas, aktivitas tidak terarahnya akan menurun drastis. Sebab itu, telebih dahulu perhatikanlah dengan seksama, apakah overaktivitas anak hanya karena ia tidak mampu memusatkan perhatiannya terhadap sesuatu lebih dari beberapa menit saja, ataukah ia tidak mampu mengendalikan diri dalam situasi yang menuntutnya untuk bersikap tenang.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan perilaku hiperaktif ialah :
1. Kondisi saat hamil & persalinan. Misalnya keracunan pada akhir kehamilan (ditandai dengan tingginya tekanan darah, pembengkakan kaki & ekskresi protein melalui urin), cedera pada otak akibat komplikasi persalinan.
2. Cedera otak sesudah lahir,yang disebabkan oleh benturan kuat pada kepala anak.
3. Tingkat keracunan timbal yang parah dapat mengakibatkan kerusakan otak.Hal ini ditandai dengan kesulitan konsentrasi, belajar dan perilaku hiperaktif. Polusi timbal berasal dari industri peleburan baterai, mobil bekas, asap kendaraan atau cat rumah yang tua. Obat untuk mengeluarkan timbal dari dalam tubuh hanya diberikan dibawah pengawasan dokter bagi anak kadar timbalnya sudah sangat tinggi, karena obat tersebut mempunyai efek samping.
4. Lemah pendengaran, yang disebabkan infeksi telinga sehingga anak tidak dapat mereproduksi bunyi yang didengarnya. Akibatnya, tingkah laku menjadi tidak terkendali & perkembangan bahasanya yang lamban. Segeralah hubungi dokter THT jika anak menunjukkan ciri berikut : perkembangan bahasa yang lambat, lebih banyak memperhatikan mimik lawan bicara & lebih banyak berreaksi terhadap perubahan mimik & isyarat.
5. Faktor psikis, yang lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan anak dengan dunia luar. Meskipun jarang, hubungan dengan anggota keluarga dapat pula menjadi penyebab hiperaktivitas. Contoh kasus, orang tua yang bersikap sangat tegas menyuruh anak berdiri 15 menit di pojok ruangan untuk mengatasi ketidakdisiplinannya. Tapi setelah 15 menit berlalu, maka anak malah mempunyai energi berlebih yang siap meledak dengan akibat lebih negativ dibanding kesalahan sebelumnya.
Hal utama dalam mengatasi hiperaktivitas anak adalah hubungan yang baik antara orang tua & anak. Berikut ini beberapa kaidah bagi orang tua dalam berinteraksi dengan anak :
1. Mengidentifikasi segi positif.
Tidak ada anak yang benar-benar berantakan tanpa mempunyai segi positif, sekalipun ia tergolong anak yang hiperaktif. Satu hal yang salah & sering terjadi, bahwa orang tua mengukur segi positif anak dengan saudara sekandung atau teman sebayanya. Perlu disadari bahwa setiap anak mempunyai perkembangan yang berbeda meskipun saudara sekandung. Beberapa peraturan bagi anak dapat dibuat dengan memenuhi syarat berikut : jelas & tidak abstrak, sesuai syar’i, diawali dengan peraturan mudah dalam waktu yang pendek, tidak dengan marah ketika menerangkannya pada anak, sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan tidak terlalu banyak.
2. Memberi hadiah
Misalnya jika anak berhasil, yang bersifat : langsung diberikan, menyenang-kan hati anak tanpa keluar dari batas syar’i, konsisten yang berarti diberikan bagi anak yang benar-benar berhasil dan bukan karena rengekan, disampaikan dengan hangat & dibarengai dengan pujian.
3. Sekali waktu mengajak anak menyalurkan energinya di tempat yang lebih luas,
misalnya di taman. Jika orang tua merasa butuh pertolongan, anak bisa dibawa ke klinik spesialis terpadu. Disana anak akan dibantu oleh beberapa ahlinya dalam ilmu penyakit jiwa anak, ilmu jiwa klinik, ilmu jiwa pendidikan, dokter anak & psikoterapis. Bagaimanapun, anak adalah amanah Allah. Tugas orang tua adalah bagaimana memaksimalkan diri dalam membawa mereka menjadi hamba Allah yang shalih. Dan Allah-lah yang akan menentukan hasilnya.

Mengenal Anak Hiperaktif Sejak Dini


cover-buku-anak-hiperaktif.jpg
Judul : Anak Hiperaktif: Cara Cerdas Menghadapi Anak Hiperaktif dan Gangguan Konsentrasi
Penulis : Ferdinand Zaviera
Penerbit : Ar-Ruzz Media – Yogyakarta
Cetakan I : Juni 2007
Tebal : 184 halaman
Semua orang tua pasti menginginkan anaknya lahir dengan selamat dan normal, baik secara fisik, perilaku maupun mental. Namun, bagaimana jadinya jika pada kenyataannya bahwa anak mereka harus mengalami ketidaknormalan. Tidak mudah ketika orang tua harus berhadapan dengan kondisi anak yang seperti ini. Lazimnya seperti halnya gejala autis dan hiperaktif yang sering terjadi pada anak-anak.
Gejala autis dan hiperaktif adalah termasuk gangguan yang disebabkan oleh perkembangan otaknya yang tidak normal. Sehingga membuat pertumbuhan sang anak menjadi tidak biasa. Pada awalnya gangguan seperti ini tidak tampak pada usia batita, baru dapat dipastikan saat menjelang masuk sekolah atau di atas usia 4 atau 5 tahun.
Akan tetapi, tidak semua perhitungan umur seperti ini bisa dijadikan sebagai patokan yang pasti. Karena batasan usia terkena gangguan semacam ini memang bervariasi. Bisa jadi seorang anak justru mengalami gangguan ini pada usia batita. Oleh karena itu orang tua harus selalu waspada dalam menghadapi setiap perkembangan anaknya.
Untuk itu, sepatutnyalah orang tua memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala gangguan-gangguan yang rawan terjadi pada anak-anak tersebut. Berdasarkan yang demikian itu- sebelum hal-hal tersebut terlanjur terjadi- alangkah baiknya jika anda para orang tua untuk membekali diri salah satunya dengan membaca buku “Anak Hiperaktif; Cara Cerdas Menghadapi Anak Hiperaktif dan Gangguan Konsentrasi” karya Ferdinand Zaviera, pria keturunan Jawa-Inggris ini.
Setelah lulus dari salah satu Perguruan Tinggi yang ada di Yogyakarta tahun 2003, penulis belajar mengembangkan diri dengan mengikuti berbagai pelatihan dan kemudian terjun ke dunia anak-anak. Kecintaannya kepada anak-anak mendorong dia untuk menulis buku ini. Ditambah beberapa naskah variatif lainnya yang masih tentang seputar dunia anak-anak.
Lewat buku ini orang tua akan diantarkan untuk dapat memahami dan mengerti bagaimana hiperaktif dan gangguan konsentrasi itu, serta bagaimana cara menghadapinya. Sehingga bila anaknya menampakkan gangguan seperti ini, orang tua bisa langsung tanggap dan memberikan langkah-langkah yang tepat dan benar.
Selama ini masih banyak orang tua yang tidak faham akan gejala-gejala gangguan tersebut. Sampai-sampai melakukan kesalahan dalam menilai perkembangan anak. Misalnya, terburu-buru melabeli (menjuluki) anaknya sebagai anak yang nakalyang suka bikin onar. Sikap yang keliru seperti inilah yang hanya akan menambah parah perkembangan jiwa dan juga bahkan fisiknya. Padahal, segala perilaku anak yang mengalami gangguan tersebut bukanlah keinginan sang anak. Tetapi karena memang ada gangguan pada saraf dan otaknya.
Sekilas memang sulit untuk membedakan mana anak yang termasuk mengalami gangguan, dan mana anak yang tidak termasuk mengalami gangguan. Pada dasarnya balita yang aktif adalah wajar, karena inilah usia di mana anak sedang giat-giatnya mengeksplorasi lingkungannya. “Dalam rentang usia itu balita berada dalam fase otonomi atau mencari rasa puas melalui aktivitas geraknya. Tapi lain halnya kalau ia terlalu aktif atau malah hiperaktif, maka tentu saja ini tidak wajar” tegas dr. Dwijo Saputro, psikiater anak dan pimpinan “SmartKid”, klinik perkembangan anak dan kesulitan belajar di Jakarta.
Tapi sekarang, dengan hadirnya buku “Anak Hiperaktif; Cara Cerdas Menghadapi Anak Hiperaktif dan Gangguan Konsentrasi” ini, orang tua tidak perlu cemas mengalami kesulitan lagi untuk mengenal anak hiperaktif sejak dini. Secara umum dapat diamati bahwa cirri-ciri anak hiperaktif adalah anak yang cenderung selalu mengganggu  teman, tidak bisa diam, kemampuan akademik tidak optimal, kecerobohan dalam hubungan sosial, sikap melanggar tata tertib secara implusif, serta mengalami kesulitan konsentrasi dalam belajar. Kemungkinan cirri-ciri perilaku seperti ni akan mewarnai berbagai situasi dan dapat berlanjut hingga dewasa jika tidak segera diobati.
Gangguan hiperaktif ini secara luas di masyarakat dikenal sebagai turunan dari “Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD)”. Apabila gangguan ADHD/hiperaktif ini tidak diobati, maka pada akhirnya akan menimbulkan hambatan penyesuaian perilaku sosial dan kemampuan akademik di lingkungan rumah dan sekolah. Akibatnya perkembangan anak menjadi tidak tidak optimal dengan timbulnya gangguan perilaku dikemudian hari.
Untuk itu, buku ini sangat cocok dan penting untuk dijadikan sebagai buku panduan bagi orang tua agar dapat mengenali lebih dini gangguan-gangguan semacam itu. Karena pada dasarnya penanganan anak penderita hiperaktif (ADHD) dalam bentuk terapi perilaku atau obat tidak akan memberikan hasil yang maksimal jika tidak ditunjang oleh sikap kedua orang tuanya. Sikap kasih sayang dan perhatian yang cukup, serta mampu memahami kondisi si anak berdasarkan gangguan yang ia alami.

Mengenal dan Membimbing Anak Hiperaktif

Apa sebenarnya yang disebut hiperaktif itu ? Gangguan hiperaktif sesungguhnya sudah dikenal sejak sekitar tahun 1900 di tengah dunia medis. Pada perkembangan selanjutnya mulai muncul istilah ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity disorder). Untuk dapat disebut memiliki gangguan hiperaktif, harus ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif.
Inatensi
Inatensi atau pemusatan perhatian yang kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain.


Hiperaktif
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik.
Impulsif
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah.
Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif
Problem di sekolah
Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa
Problem di rumah
Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan-hambatan tersbut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak.
Problem berbicara
Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat.
Problem fisik
Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya.
Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab hiperaktif pada anak :
Faktor neurologik
Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distres fetal, persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimia gravidarum atau eklamsia dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu faktor-faktor seperti bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ibu yang terlalu muda, ibu yang merokok dan minum alkohol juga meninggikan insiden hiperaktif
Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang neuoralogi yang sampai kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi pada salah satu neurotransmiter di otak yang bernama dopamin. Dopamin merupakan zat aktif yang berguna untuk memelihara proses konsentrasi
Beberapa studi menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbital-prefrontal, daerah orbital-limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan
Faktor toksik
Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu, kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat, ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat hamil juga dapat melahirkan calon anak hiperaktif.
Faktor genetik
Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada anak kembar.
Faktor psikososial dan lingkungan
Pada anak hiperaktif sering ditemukan hubungan yang dianggap keliru antara orang tua dengan anaknya.
Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang tergolong hiperaktif :
Orang tua perlu menambah pengetahuan tentang gangguan hiperaktifitas
Kenali kelebihan dan bakat anak
Membantu anak dalam bersosialisasi
Menggunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku, seperti menggunakan penguat positif (misalnya memberikan pujian bila anak makan dengan tertib), memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku anak
Memberikan ruang gerak yang cukup bagi aktivitas anak untuk menyalurkan kelebihan energinya
Menerima keterbatasan anak
Membangkitkan rasa percaya diri anak
Dan bekerja sama dengan guru di sekolah agar guru memahami kondisi anak yang sebenarnya
Disamping itu anak bisa juga melakukan pengelolaan perilakunya sendiri dengan bimbingan orang tua. Contohnya dengan memberikan contoh yang baik kepada anak, dan bila suatu saat anak melanggarnya, orang tua mengingatkan anak tentang contoh yang pernah diberikan orang tua sebelumnya.

Mengapa Anak Autis Tak Mau Dipeluk?

cacat pada otak ternyata menjelaskan mengapa banyak anak autis menghindar ketika disentuh atau dipeluk -bahkan oleh orangtua mereka sendiri. Penelitian ini telah menunjukkan, ada masalah yang mempengaruhi individu dengan Sindrom Fragile X yang rentan, dan terkenal sebagai gen penyebab autisme dan pewaris keterbelakangan mental.

Para ilmuwan menemukan Fragile X hasil dari pengembangan penundaan sensorik korteks, daerah otak yang merespons untuk disentuh. Efek domino ini dipicu oleh penundaan yang menyebabkan bagian dari otak menjadi salah. Fragile X disebabkan oleh mutasi gen di kromosom X wanita yang mempengaruhi pembangunan sinapsis, sebagai poin vital hubungan antara sel saraf.
Karena anak laki-laki hanya memiliki satu kromosom X, mereka sangat dipengaruhi oleh sindrom ini dibandingkan anak perempuan. Perempuan memiliki dua kromosom X, sehingga tak terlalu bermasalah jika ada yang rusak. Sampai batas tertentu dapat dikompensasikan oleh yang lain. Anak laki-laki umumnya lebih mungkin rentan berkembang autis dibandingkan anak perempuan.
"Ada periode kritis selama perkembangan akhir ketika otak sangat rentan dan berubah dengan cepat," kata pemimpin studi Dr Anis Contractor, dari Northwestern University Feinberg School of Medicine di Chicago. "Semua elemen ini berkembang cepat dan dikoordinasikan sehingga otak menjadi saluran kabel yang benar dan karena itu fungsinya benar."
Contractor mengatakan, anak dengan sindrom ini akan menderita dengan masalah "taktik pembelaan diri" dan akhirnya menjadi cemas dan menarik diri secara sosial. "Mereka tidak bisa menatap mata orang, mereka tidak akan memeluk orang tua mereka, dan mereka sangat peka terhadap sentuhan dan bunyi. Semua ini menyebabkan kecemasan bagi keluarga dan teman-temannya dan juga untuk penderita Fragile X itu sendiri. Sekarang pertama kali kita memiliki pemahaman tentang apa yang tidak beres di dalam otak."

Hormon Cinta untuk Gejala Autisme

Sebuah penelitian dari Lyon Perancis menyebutkan sebuah hormon cinta yang mengikat ibu dan anak dimungkinkan untuk menolong orang dewasa dengan Autisme.

Penelitian dilakukan oleh Angela Sirigu dari Pusat Ilmu Syaraf Cognitive dan timnya. Sebanyak 13 orang dewasa, 11 diantaranya laki-laki yang mempunyai gangguan perilaku autis diteliti dalam dua eksperimen. Sebelumnya mereka tidak diberikan pengobatan selama dua minggu dan diawasi kesehatannya secara setara.

Menurut periset kepada Journal Proceeding Akademi Science Nasional mereka menemukan pasien yang menghirup hormon oxytocin memperhatikan dan berekspresi ketika melihat gambar wajah dan lebih seperti mengerti isyarat sosial pada sebuah simulasi permainan.

"Jika oxytocin diatur lebih awal ketika diagnosis dibuat, kami mungkin dapat mengubah lebih awal gangguan pengembangan sosial dari pasien autis," ujar Sirigu.

Sirigu mengatakan studi difokuskan pada oxytocin karena telah dikenal menolong ikatan ibu dan bayi mereka saat menyusui. Juga karena penelitian lebih awal menunjukkan bahwa anak-anak dengan autisme mempunyai tingkat hormon yang rendah. Orang dengan sindrom Asperger dan gangguan spektruk autis lainnya sering mempunyai masalah dengan interaktsi sosial.

Perempuan ini juga mengatakan Oxytocin dapat menolong pasien autis yang memiliki fungsi intelektual normal dan kemampuan bahasa yang lumayan baik karena kemajuan kontak mata.

"Kontak mata dapat dipertimbangkan sebagai langkah awal dari pendekatan sosial," ujarnya, Tetapi orang dengan autisme sering terganggu melihat lainnya.

"Dalam studi kami menunjukkan bahwa oxytocin mempertinggi waktu kontak mata lebih lama melihat pada mata," ujarnya lagi.

Dia mengatakan hormon juga memperbaiki kemampuan pasien autisme untuk memahami bagaimana orang lain merespon mereka. Mereka dapat mempelajari respon yang cocok pada perilaku yang lain pula.

Para peneliti melihat pasien merespon lontaran bola dalam permainan virtual untuk mengukur perubahan perilaku. Dalam percobaan terpisah, tim Sirigu mengukur bagaimana pasien merespon ekspresi wajah ketika melihat gambar dari wajah manusia.

Terapi Musik Dorong Perubahan Positif Autisme

TERAPI musik tidak hanya berfungsi memfasilitasi perubahan positif pada perilaku manusia dewasa tetapi juga mempunyai pengaruh positif pada anak penderita autisme. Musik, menurut penelitian berperan sebagai rangsangan luar yang membuat anak nyaman, karena tidak terlibat kontak langsung dengan manusia.

Manfaat terapi

Meningkatkan perkembangan emosi sosial anak. Saat memulai suatu hubungan, anak autisme cenderung secara fisik mengabaikan atau menolak kontak sosial yang ditawarkan oleh orang lain. Dan terapi musik membantu menghentikan penarikan diri ini dengan cara membangun hubungan dengan benda, dalam hal ini instrumen musik.

Anak-anak autisme, berdasarkan hasil studi, melihat alat musik sebagai sesuatu yang menyenangkan. Anak-anak ini biasanya sangat menyukai bentuk, menyentuh dan juga bunyi yang dihasilkan. Karena itu, peralatan musik ini bisa menjadi perantara untuk membangun hubungan antara anak  autisme dengan individu lain.

Membantu komunikasi verbal dan nonverbal. Terapi musik juga bisa membantu kemampuan berkomunikasi anak dengan cara meningkatkan produksi vokal dan pembicaraan serta menstimulasi proses mental dalam hal memahami dan mengenali. Terapis akan berusaha menciptakan hubungan komunikasi antara perilaku anak dengan bunyi tertentu. 

Anak autisme biasanya lebih mudah mengenali dan lebih terbuka terhadap bunyi dibandingkan pendekatan verbal. Kesadaran musik ini dan hubungan antara tindakan anak dengan musik, berpotensi mendorong terjadinya komunikasi.

Mendorong pemenuhan emosi. Sebagian besar anak autisme kurang mampu merespon rangsangan yang seharusnya bisa membantu mereka merasakan emosi yang tepat. Tapi, karena anak autisme bisa merespon musik dengan baik, maka terapi musik bisa membantu anak dengan menyediakan lingkungan yang bebas dari rasa takut.

Selama mengikuti sesi terapi, setiap anak mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan diri saat mereka ingin, sesuai dengan cara mereka sendiri. Mereka bisa membuat keributan, memukul instrumen, berteriak dan mengekspresikan kesenangan akan kepuasan emosi. Selain itu, terapi musik juga membantu anak autisme dengan:


  • Mengajarkan keahlian sosial
  • Meningkatkan pemahaman bahasa
  • Mendorong hasrat berkomunikasi
  • Mengajarkan anak mengekpresikan diri secara kreatif
  • Mengurangi pembicaraan yang tidak komunikatif
  • Mengurangi pengulangan kata yang diucapkan orang lain secara instan dan tidak terkontrol.

Sesi terapi

Terapi musik akan dirancang, dijalankan, dan dievaluasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Selama terapi anak akan dilibatkan dalam beberapa aktivitas seperti:

  • Mendengarkan musik atau kreasi musik
  • Memainkan alat musik
  • Bergerak mengikuti irama musik
  • Bernyanyi (ol-08)

10 Jenis Terapi Autisme

Akhir-akhir ini bermunculan berbagai cara / obat / suplemen yang ditawarkan dengan iming-iming bisa menyembuhkan autisme. Kadang-kadang secara gencar dipromosikan oleh si penjual, ada pula cara-cara mengiklankan diri di televisi / radio / tulisan-tulisan.

Para orang tua harus hati-hati dan jangan sembarangan membiarkan anaknya sebagai kelinci percobaan. Sayangnya masih banyak yang terkecoh , dan setelah mengeluarkan banyak uang menjadi kecewa oleh karena hasil yang diharapkan tidak tercapai.
Dibawah ini ada 10 jenis terapi yang benar-benar diakui oleh para professional dan memang bagus untuk autisme. Namun, jangan lupa bahwa Gangguan Spectrum Autisme adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda.



1) Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.



2) Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain.

Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.



3) Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot -otot halusnya dengan benar.



4) Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya.

Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.



5) Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terqapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara2nya.



6) Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.



7) Terapi Perilaku.
Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya,



8) Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.



9) Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode …………. Dan PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.



10) Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN! (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).

Autisme dan Perkembangannya di Indonesia

Autisme atau biasa yang disebut dengan autis merupakan suatu kondisi seorang anak sejak lahir ataupun pada saat masa belia, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Anak yang menderita autis memiliki gangguan perkembangan yang kompleks. Akibatnya, anak penderita autis terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia yang repetitive, aktifitas dan minat yang obsesif.

Atau dengan bahasa yang lebih mudah, seorang anak autis memiliki kelemahan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Ia juga memiliki kelemahan dalam berinteraksi sosial dan berimajinasi.

Menurut Power (1989), karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang interaksi sosial, komunikasi (bahasa dan bicara), perilaku serta emosi dan pola bermain, gangguan sensoris, dan perkembangan terlambat atau tidak normal. Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil, biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.

Secara lebih jelas dapat dituliskan sifat-sifat yang kerap ditemukan pada anak autis. Diantaranya adalah sulit bergabung dengan anak-anak yang lain, tertawa atau cekikikan tidak pada tempatnya, menghindari kontak mata atau hanya sedikit melakukan kontak mata, menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri, lebih senang menyendiri, menarik diri dari pergaulan, tidka membentuk hubungan pribadi yang terbuka, memutar benda, terpaku pada benda tertentu, sangat tergantung kepada benda yang sudah dikenalnya dengan baik, memiliki fisik terlalu aktif atau sama sekali kurang aktif, dan sebagainya.

Jumlah Penderita Autis di Indonesia

Penderita autis di Indonesia setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari dalam pembukaan rangkaian Expo Peduli Autisme 2008 lalu mengatakan, jumlah penderita autis di Indonesia di tahun 2004 tercatat sebanyak 475 ribu penderita dan sekarang diperkirakan setiap 1 dari 150 anak yang lahir, menderita autisme.

Walaupun Autis telah ditemukan sejak tahun 1943, namun penyebab pasti akan gangguan yang diderita oleh kurang lebih 35 juta orang di seluruh dunia ini masih belum diketahui. Ketua Yayasan Autisme Indonesia (YAI) dr. Melly Budhiman mengatakan, di antara penyebabnya adalah faktor gaya hidup, polusi udara, narkotika, makanan yang tercemar limbah, misalnya ikan laut, dan sayuran yang masih mengandung pestisida.

Sebuah penelitian terbaru menitikberatkan pada kelainan biologis dan neurologis di otak, termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan.


Mendeteksi Sejak Dini Gangguan Autisme

Autisme sendiri terbagai ke dalam tiga bagian, yaitu sangat ringan (mild), sedang (moderate), serta parah (severe). Ketiga kondisi ini kerap menyulitkan orang tua untuk menyadari seluruh keberadaannya.

Hans Asperger dan Leo Kanner adalah dua orang yang memelopori penelitian mengenai autisme. Dan seiring berjalannya waktu, banyak ilmuwan di dunia yang juga berusaha menemukan penyebab dari gangguan autisme itu sendiri.

Di Amerika, sejak tahun 1997 terdapat program yang dinamakan Autism Genetic Research Exchange yang mengumpulkan data genetis terbesar di Amerika untuk mempelajari Autisme. Dan selama ini, tujuan dari penelitian tersebut ini masih berada dalam usaha untuk mengidentifikasi anak-anak yang memiliki risiko Autisme.

Selain itu, Mel Rutherford, seorang profesor psikologi dari Faculty of Science, McMaster University juga melakukan penelitian terhadap anak yang mengalami gangguan perkembangan otak. Rutherford menggunakan Eye Tracker Technology yang dapat mengukur arah gerakan mata bayi untuk mendeteksi gejala-gejala autsime.

Sementara itu, Profesor Florence Levy dari UNSW, School of Psychiatry melakukan penelitian terhadap otak yang dinilai dapat memberikan penjelasan yang dapat membantu teori psikologis seperti Theory of Mind dalam mempelajari autisme. Semua penelitian ini diharapkan dapat membuat para dokter dan psikiater mampu mendeteksi kondisi-kondisi autisme pada tahap terdini.

Meski begitu, ada referensi baku yang digunakan secara umum dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak penderita autis, yang termasuk dalam ICD (International Classification of Diseases) revisi ke-10 tahun 1993, dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang kedua isinya sama.

Namun secara khusus, autisme bisa diketahui jika ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu Interaksi Sosial, Komunikasi, serta Perilaku. 

Penanganan Autisme

Sebagai warga negara Indonesia, meski belum ada data terbaru mengenai penderita gangguan autis, kita patut berbangga karena penanganan penderita gangguan Autis mendapat perhatian serius dari pemerintah. Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari pun berjanji untuk membentuk Therapy Center Autis. Pemerintah juga merencanakan untuk meluncurkan berbagai paket berupa buku, VCD, poster dan checklist pendeteksi dini autisme.

Terapis sekaligus psikolog, Tri Gunatri OTR, S.Psi yang dipercaya menukis paket-paket tersebut merencanakan untuk menyebarluaskannya ke seluruh pelosok Indonesia. Selain itu, berbagai tempat dan website juga banyak yang memberikan layanan untuk mempelajari tentang autisme.

Proses Terjadinya Pengaruh Alergi terhadap Autisme

Hubungan alergi makanan dan Autisme dapat dijelaskan karena adanya pengaruh alergi makanan terhadap fungsi otak. Patofisiologi dan patogenesis( proses terjadinya penyakit)  alergi mengganggu sistem susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa kemungkinan mekanisme yang bisa dijelaskan, diantaranya adalah :


ALERGI MENGGANGGU ORGAN SASARAN
Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks  dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal. Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan inflamasi.
Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat  mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma bronchial, bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses inflamasi kronis yang kompleks.

TEORI ABDOMINAL BRAIN DAN ENTERIC NERVOUS SYSTEM
Pada alergi dapat menimbulkan gangguan pencernaan baik karena kerusakan dinding saluran pencernan atau karena disfungsi sistem imun itu sendiri. Sedangkan gangguan pencernaan itu sendiri ternyata dapat mempengaruhi system susunan saraf pusat  termasuk fungsi otak.
Teori gangguan pencernaan  berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat ini sedang menjadi perhatian utama kaum klinisi. Penelitian secara neuropatologis dan imunoneurofisiologis banyak dilaporkan. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Intestinal Hypermeability atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Golan dan Strauss tahun 1986  melaporkan adanya Abdominal epilepsy, yaitu adanya gangguan pencernaan yang dapat mengakibatkan epilepsi.

KETERKAITAN HORMONAL DENGAN ALERGI
Keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh banyak  penelitian. Sedangatan perubahan hormonal itu sendiri tentunya dapat mengakibatkan manifestasi klinik tersendiri.
Lynch JS tahun 2001 mengemukakan bahwa pengaruh hormonal juga terjadi pada penderita rhinitis alergika pada kehamilan. Sedangkan  Landstra dkk tahun 2001 melaporkan terjadi perubahan penurunan secara bermakna hormone cortisol pada penderita asma bronchial saat malam hari.
Penemuan bermakna  dilaporkan Kretszh dan konitzky 1998, bahwa hormon alergi mempengarugi beberapa manifestasi klinis sepereti endometriosis dan premenstrual syndrome. Beberapa laporan lainnya menunjukkan keterkaitan alergi dengan perubahan hormonal diantaranya adalah cortisol, metabolic, progesterone dan adrenalin.
Pada penderita alergi didapatkan penurunan hormon kortisol, esterogen dan metabolik. Penurunan hormone cortisol dapat menyebabkan allergy fatigue stresse, sedangkan penurunan hormone metabolic dapat mengakibatkan perubahan berat badan yang bermakna. Hormona lain uang menurun adalah hormone esterogen.
Alergi juga dikaitkan dengan peningkatan hormone adrenalin dan progesterone. Peningkatan hormon adrenalin menimbulkan manifestasi klinis mood swing, dan kecemasan. Sedangkan penongkatan hormone progesterone mengakibatkan gangguan kulit, Pre menstrual Syndrome, Fatigue dan kerontokan rambut.


Hubungan Autisme Dengan Alergi

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autism hingga saat ini masih belum jelas penyebabnya. Dari berbagai penelitian klinis hingga saat ini masih belum terungkap dengan pasti penyebab autisme. Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa Autisme adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh muktifaktorial  dengan banyak ditemukan kelainan pada tubuh penderita. Beberapa ahli menyebutkan autisme disebabkan karena terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Terdapat juga pendapat seorang ahli bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autisme.

Tetapi beberapa penelitian menunjukkan keluhan autism dipengaruhi dan diperberat  oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Renzoni A dkk tahun 1995 melaporkan autism  berkaitan erat dengan alergi. Menage P tahun 1992 mengemukakan bahwa didapatkan kaitan IgE dengan penderita Autism.
Obanion dkk 1987 melaporkan setelah melakukan eliminasi makanan beberapa gfejala autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan  gejala pada  anak autism yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan elimnasi diet alergi.  Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala autism semakin buruk bila manifestasi alergi itu timbul.

Saturday, March 20, 2010

Peran Orangtua Sangat Penting Terhadap Anak Autis

Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, rata-rata menyimpulkan orang tua merupakan faktor penyembuh paling mujarab. Pasalnya, keterikatan batin terhadap anak tak akan tergantikan dengan apapun. Contohnya Tri Gunadi merupakan salah satu orang tua yang dianugerahi anak-anak "istimewa". Anaknya yang bernama Enrico (7 tahun) telah mendertita gangguan autis pada usia 8 bulan.  Dirinya sempat merasa terkejut, bukan karena malu tapi lantaran dirinya adalah seorang konsultan autisme.
Pada akhirnya, dia menerima anugerah tersebut dengan lapang dada. Usai mengetahui anaknya menderita autis, dia lakukan pemeriksaan terhadap anak. Mulai dari ujung rambut hingga bagian dalam tubuh Enrico.
Selama 18 bulan dia melakukan tes demi mendapatkan penyembuhan tepat bagi si anak. Enrico merupakan anak yang telat belajar bicara. Dengan perjuangan yang keras, Tri usahakan agar si anak belajar berbicara. Usahanya pun tak sia-sia lantaran si anak akhirnya mampu belajar bicara dalam bahasa Indonesia dengan lancar. Dia pun memutuskan untuk mengenalkan bahasa inggris pada Enrico pada usia 4.5 tahun. Hasilnya, Enrico sudah mahir bertutur bahasa inggris.
Menurut Enrico, anak-anak autis dengan peran dan kasih sayang orang tua bisa berprestasi layaknya anak-anak normal. Hanya saja, orang tua harus ekstra sabar dan menunjukan kasih sayang yang lebih untuk si anak. Dengan kasih sayang itu, anak seolah dilindungi dan didukung. Terlebih saat anak sudah mencapai taraf remaja, dukungan orang tua menjadi penting.
Memasuki usia remaja, lingkungan merupakan tantangan bagi anak dengan gangguan autis. Bukan tanpa sebab, anak sering merasa frustasi bila merasa berbeda dengan anak-anak sebayanya yang normal. Maka dari itu, saran Tri, orang tua sudah harus mulai memberikan pengertian kepada si anak atas anugerah yang dimilikinya.

Metabolisme Berbeda Pada Anak Autis

Usai mengetahui tipe anak, orang tua juga harus memahami bahwa anak dengan gangguan autis memiliki metabolisme yang berbeda dengan anak normal. Metabolisme yang berbeda disebabkan kelainan pencernaan yang ditemukan adanya lubang-lubang kecil pada saluran pencernaan, tepatnya di mukosa usus.
Kelainan lain terletak pada kesulitan memproses protein karena termasuk asam amino pendek yang sering disebut “peptide”. Peptide dalam keadaan normal biasanya hanya diabsorbsi sedikit dan sisanya dibuang, namun karena adanya kebocoran mukosa usus menjadikannya masuk ke dalam sirkulasi darah.
Di dalam darah peptide ini hanya sebentar, karena sebagian dikeluarkan lewat urine dan sisanya masuk ke dalam otak yang dapat menempel pada reseptor opioid di otak. Akibat dari itu, peptide akan berubah menjadi morfin yang dapat memengaruhi fungsi susunan syaraf dan dapat menimbulkan gangguan perilaku.
Sebabnya, anak pada gangguan autis harus menghindari makanan yang terklasifikasi menjadi dua yaitu Kasein (protein dari susu) dan Gluten (protein dari gandum). Pada orang sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang serius atau memicu timbulnya gejala.
Pada anak dengan gangguan autis, kedua zat ini yang sulit dicerna dan diterjemahkan otak sebagai morfin. Kadar morfin yang tinggi menyebakan anak menjadi lebih aktif, bahkan layaknya zat morfin pada narkotika dan obat-obatan terlarang akan berimbas pada kebalnya anak dari rasa sakit. Meski demikian, tambahnya, bukan berati pemberian asupan makanan pada penderita autis menjadi sulit. Orang tua tinggal menggantikan sumber makanan yang mengandung kasein dan gluten dengan bahan-bahan yang aman dari kedua zat tersebut. Contoh sederhana, ganti susu sapi dengan susu kedelai.
Oleh karena itu, di sarankan orang tua untuk tidak terlalu khawatir anak-anak mereka tidak mendapatkan gizi yang lengkap. Tri justru meminta para orang tua untuk lebih aktif mencari informasi terkait asupan makanan yang tepat bagi si anak.

Menyelaraskan pola Makan Terhadap Anak Autis

Anak dengan kebutuhan khusus seperti autisme cenderung memiliki alergi terhadap makanan. Perhatian orangtua terhadap pola makan  sangat diperlukan. Pasalnya, asupan makanan akan mempengaruhi tingkah laku anak.
Konsultan Anak berkebutuhan Khusus dari yayasan Medical Exercise Theraphy, Tri Gunadi mengatakan, hal pertama yang dilakukan orang tua sebelum menerapkan pola makan terhadap anak autis adalah mengetahui tipe dari perilaku anak, apakah termasuk ke dalam tipe Seeking Defensiveness (mencari) atau Bahavior Defensiveness (menghindar).
Pada tipe mencari, anak cenderung memiliki nafsu makan yang  besar dan senang mengunyah. Anak pada tipe ini memiliki kemungkinan terkena obesitas atau kelebihan barat badan. Berbeda dengan tipe mencari, tipe anak menghindar memiliki nafsu makan yang kecil bahkan cenderung menghindar dari makanan yang masuk melalui mulut.Selain itu, anak tipe ini tidak senang mengunyah. Artinya, anak langsung menelan makanan tanpa mengunyah terlebih dahulu.
Lebih jauh dia menjelaskan, bila sudah diketahui tipe si anak, langkah lanjutan yang diperlukan adalah memberikan pola makan yang tepat. Pada anak bertipe mencari, anak harus diberikan makanan bertekstur dan berpola. Maksudnya berpola, anak bertipe pencari dikenalkan dahulu makanan yang memerlukan proses mengunyah lebih lama baru diperkenalkan pada makanan bertekstur lembut. Dengan harapan, anak akan mudah kenyang hingga menghindarkan diri dari obesitas.
Pada anak bertipe menghindar dilakukan dengan pola terbalik. Anak harus diberikan makanan bertekstur halus terlebih dahulu sebelum diberikan makanan bertekstur kasar. Pasalnya, anak pada tipe menghindar begitu sensitif terhadap makanan. Bila tidak ditangani dengan baik berpotensi besar mengalami gizi buruk.
Dia juga menggarisbawahi, anak dengan gangguan autis umumnya pada saat makan dipengaruhi dua hal yakni benda dan logo. Pada anak-anak autis begitu tertarik dengan apa yang dilihatnya. Misalnya, ketika anak melihat mie sebagai hal menarik maka dia akan mengkonsumsi mie terus menerus atau mungkin ketika dia melihat menu mie pada iklan yang dia lihat ditelevisi juga akan memberikan dampak yang sama.

Yang Spesial Yang Berprestasi

Memang, anak berkebutuhan khusus (ABK) selalu lemah dan tergantung. Namun, tak berarti harus selalu berada di belakang anak-anak “normal” lain. Banyak fakta membuktikan bahwa beberapa ABK berhasil menorehkan prestasi luar biasa, bahkan di luar jangkauan masyarakat umum.
Anak berkebutuhan khusus, memang berbeda. Mereka memang memiliki “kekurangan”. Namun, tak berarti harus menjadi anak yang tak memiliki masa depan, dan dijauhkan dari pergaulan.
“Anak berkebutuhan khusus, selain memiliki beberapa kekurangan, biasanya mempunyai keunggulan atau sesuatu yang menonjol pada satu atau beberapa aspek tertentu,” ujar Dra. Suhati Kurniawati, psikolog dari LPTUI (Lembaga Psikologi Terapan Universitas
Indonesia).
“Mereka yang mampu memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya dengan baik, bisa dipastikan akan mampu meraih prestasi gemilang!” tambahnya.
Prestasi anak berkebutuhan khusus, beda dengan anak lainnya, karena keduanya memanga beda. Menyamakannya sungguh tidak bijaksana. Anak-anak “normal,” tidak memiliki hambatan atau gangguan dalam tumbuh kembang anak. Pada ABK, hambatan itu ada pada aspek tertentu yang mengganggunya. Kemampuan belajarnya juga sangat berbeda.
Ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. Anak “normal” mudah mengatur memori dan konsentrasinya dibanding anak disleksia misalnya. Kemampuan anak CP dalam mengoperasikan komputer atau menulis sebuah buku menjadi luar biasa Prestasi ABK harus dipandang sebagai aktualisasi potensi sebagai anak yang mempunyai hambatan. Dan, harus dipandang sebagai suatu keberhasilan dalam usaha untuk menjadi sebuah prestasi.
Penyesuaian diri mereka (ABK) dengan lingkungan di sekitar mereka menjadi sangat penting. Hal ini bisa dimulai dengan kemampuan self help mereka. Artinya, ketika mereka berhasil, mereka sudah berprestasi. Selanjutnya,, bila mereka mampu mengembangkan, itulah prestasi. Dan, semua itu bukanlah sesuatu yang mustahil dilakukan sang anak bersama orangtuanya.
Menyongsong Prestasi
Kepekaan orang tua dalam memperhatikan setiap perkembangan sang anak sangat penting. Orang tua harus sedini mungkin mendeteksi dan peduli dengan segala macam gejala baik yang positif maupun negative. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berkonsultasi dengan para profesional atau mengujinya dengan teori-teori perkembangan anak. Dengan deteksi sejak dini, maka penanganan atau intervensi bisa menjauhkan dari resiko-resiko berat yang bisa diakibatkan oleh hambatan yang dimilikinya atau paling tidak meminimalisasi.
Peran orangtua menjadi sangat penting. Semua tak ada artinya bila orang tua dan keluarga tidak siap menerima keadaan sang anak. Hal ini penting, karena intervensi tidak akan bisa dilakukan bila orang-orang di sekitarnya itu belum siap dan menerima dengan tulus keberadaan sang anak. Kenyataannya, penerimaan yang tulus disertai cinta kasih yang dalam memegang peranan yang penting dalam kemajuan seorang di kemudian hari. Kasih sayang orangtua akan membawa anak menemukan potensi-potensi yang terpendam di balik kekurangannya.

Emosi Negatif pada Anak Autis

(1) Marah, sumber stimulus yang menjadi penyebab emosi ini adalah
manusia dan situasi tertentu. Stimulus yang bersumber dari manusia yang
memunculkan emosi ini adalah pada saat subjek dilarang melakukan kegiatan yang
diinginkan, disuruh melakukan hal yang tidak disukai, hak milik dilanggar, dan
tindakan/ucapan diralat orang lain. Stimulus yang memunculkan emosi marah yang
terlihat pada subjek pertama tetapi tidak terlihat pada subjek kedua adalah diabaikan
saat marah, saat subjek tidak menyelesaikan latihannya, dan dipeluk/digendong/
dicium pada saat sedang melakukan kegiatan tertentu.. Selain itu stimulus berupa
situasi yang menjadi pemicu emosi marah adalah pada saat ada keinginan atau
kebutuhan subjek tidak terpenuhi. Kadang kala keinginan tersebut tidak mungkin
terpenuhi, seperti ingin menghidupkan televisi pada saat listrik padam. Hasil
pengamatan juga menunjukkan bahwa kadang kala penyebab kemarahan tidak jelas.
Respon yang terlihat menyertai stimulus di atas yang menunjukkan emosi
marah adalah; merengek, menjerit, berontak, tetap berusaha melakukan, penolakan
verbal, menghindar, menendang dan mendorong, menarik orang, memelintir dan
menggigit jari orang, membanting benda di dekatnya, mengejar orang, menangis,
menghentakkan kaki, menepuk-nepuk tangan, dan berjalan mondar-mandir. Subjek
pertama memunculkan tindakan seperti tidak ingin di dekati dan mendekati orang
yang tidak mempedulikannya pada hari sebelumnya. Peneliti tidak melihat respon
berupa temper tantrum, seperti menyakiti badan sendiri dan orang lain yang
berlebihan terhadap stimulus yang memiliki muatan emosi marah selama penelitian
berlangsung. Walupun kedua subjek memiliki riwayat tantrum yang sama sebelum
penelitian berlangsung, seperti membanting badan, tidur di lantai, membenturkan
kepala, memukul badan sendiri, mencubit, memelintir, memukul orang disekitarnya.

(2) Takut, sumber stimulus yang menjadi penyebab munculnya emosi takut
pada anak autis adalah manusia dan situasi/kegiatan tertentu. Sumber stimulus dari
manusia seperti, dimarahi/dipukul, bertemu dengan orang yang pernah
memarahi/memukul mereka dapat menjadi stimulus munculnya emosi ini. Stimulus
seperti kepekaan berlebihan terhadap rangsangan, kegelapan, kesendirian, berada
pada situasi yang dianggap menakutkan oleh mereka adalah termasuk sumber
stimulus yang berasal dari situasi/kegiatan.
Respon berupa tindakan yang memperlihatkan emosi takut adalah; menjerit
lirih, berpaling dari orang yang memarahi (mencari perlindungan), menutup telinga,
menarik orang yang berada di dekatnya, berontak, menghindar (menjauh),
menggunakan tangan orang lain, menunduk, berjalan tergesa-gesa, berpegangan erat
pada orang di dekatnya, menahan tubuh, menangis, dan memeluk orang lain,
memukul meja.

(3) Sedih, dalam kelompok emosi negatif emosi ini belum banyak dibahas
pada literatur mengenai emosi anak autis. Namun berdasarkan hasil pengamatan
peneliti menemukan bahwa kedua subjek dapat mengekspresikan perasaan sedih.
Perasaan sedih muncul berkaitan dengan sosok ibu, apabila ibu belum datang
mengunjungi maka mereka memperlihatkan perilaku seperti; melamun, menangis
dalam diam, dan memanggil-manggil ibunya.

(4) Terkejut, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) terkejut
merupakan emosi yang disebabkab kejadian yang datang secara tiba-tiba. Secara
fisiologis orang yang terkejut anggota badannya akan menjadi kaku, sedangkan
tindakan yang biasanya menyertainya adalah berlarian kesana-kemari.
Berdasarkan hasil penelitian ini, emosi terkejut muncul pada saat kedua
subjek ketahuan oleh orang lain sedang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak
boleh dilakukan, seperti; makan makanan pantang dan mengambil barang tertentu.
Kedua subjek dikagetkan oleh orang yang memergoki mereka sehingga mereka
meresponnya dengan meletakkan benda yang diambil atau meninggalkan kegiatan
yang dilarang, dan cepat-cepat menjauh.

Emosi Positif pada Anak Autis

(1) Senang, sumber stimulus yang menjadi penyebab emosi ini adalah
benda/objek, situasi, dan interaksi dengan manusia. Dari ketiga sumber stimulus di
atas benda/objek dan situasi/kegiatan adalah stimulus yang cenderung menjadi
penyebab emosi ini. Suatu stimulus lain yang memunculkan tindakan yang
merefleksikan emosi senang adalah pada saat kedua subjek sedang sendirian dan
pada saat diet makan tidak dipertahankan.
Respon dari stimulus ini adalah sebagai berikut; tersenyum, tertawa,
bergerak (berjalan mondar-mandir, meloncat, bertepuk tangan, berlari kesana-
kemari, bergaya), mendekati sumber stimulus, mengambil benda dengan tangan
sendiri atau menggunakan tangan orang lain, melihat dalam waktu lama,
mengulangi melakukan kegiatan yang menyenangkan, mengutak-atik benda yang
diminati, menutup telinga, dan bersenandung.

(2) Sayang, berdasarkan data yang didapatkan sumber stimulus yang
menjadi penyebab emosi ini muncul adalah orang dan benda. Kedua subjek
menunjukkan rasa sayangnya kepada orang-orang terdekat mereka seperti ibu,
terapis, dan pendamping. Terhadap benda, subjek pertama memperlihatkan rasa
sayangnya pada boneka. Perasaan sayang yang ditunjukkan oleh orang lain kepada
kedua subjekpun dapat diterima subjek. Tetapi bila stimulus rasa sayang itu
berlebihan atau dirasa menganggu maka mereka akan menjadi marah dan menjadi
tidak ingin disentuh.
Respon dari stimulus ini adalah; mencium, memeluk, tersenyum, tertawa,
memegang tangan, mendekati, mengajak main, bergerak (mondar-mandir, bergaya)
di dekat orang yang disayang, dan melirik orang yang disayang. Terhadap benda
yang disayangi tindakan subjek adalah; memeluk, mencium, boneka disisir, dibawa
kemana pergi, dan bila tidak berada di tempatnya akan dicari sampai ketemu.
Subjek pertama juga memperlihatkan respon membujuk orang yang memarahinya
dengan cara memeluk dan mencium ketika orang tersebut memarahinya. Orang
tersebut adalah orang-orang terdekatnya, seperti ibu, nenek, kakak perempuan, dan
terapis.

(3) Rindu, masing-masing subjek tinggal terpisah dengan orang tua. Ibu
hanya mengunjungi subjek pada jadwal-jadwal tertentu. Emosi ini muncul
berhubungan dengan dengan kehadiran ibu.
Respon dari stimulus ini adalah; menangis diam-diam di tempat tidur,
memanggil-manggil ibu, dan melamun. Ketika ibu hadir baik secara fisik maka
subjek akan memeluk. Walupun pada kasus pertama, subjek biasanya perlu waktu
untuk terbiasa dengan kehadiran ibu. Namun apabila berhubungan melalui pesawat
telepon subjek pertama akan terlihat gembira dan mengajak ibu bernyanyi.

(4) Malu, sama halnya dengan emosi rindu, perasaan malu tidak banyak
diungkap pada literatur-literatur mengenai emosi pada anak autis. Namun apabila
dibandingkan dengan respon anak normal terhadap emosi malu dapat dilihat bahwa
emosi malu dimiliki oleh anak autis. Sumber stimulus adalah manusia, seperti
terlihat pada saat ada orang yang memberi perhatian terhadap subjek maka akan
muncul respon; tertawa, tersenyum memalingkan wajah, menunduk, mengalihkan
pandangan, memegang orang lain, menjauh, berlari mondar-mandir, dan meloncat-
loncat.

PENCEGAHAN AUTIS PADA BAYI

DEFENISI
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada bayi atau anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.
Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autis akan semakin meningkat pesat. Jumlah penyandang autis semakin mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autis masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia. Autis adalah gangguan yang dipengaruhi oleh multifaktorial. Tetapi sejauh ini masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor resikonya.
Dalam keadaan seperti ini, strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal. Sehingga saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autis.

PENDAHULUAN
Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukanpada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.
Autis dapat terjadipada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik.
Jumlah anak yang terkena autis makin bertambah. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 di-simpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autisme akan semakin besar. Jumlah tersebut di atas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia.Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autisma meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang namun diperkirakan jumlah anak austima dapat mencapai 150 -- 200 ribu orang.

PENYEBAB AUTIS
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah : Genetik (heriditer), teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan Aspartame, teori kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein: Orphanin

Metode Penyembuhan Baru bagi Anak Autis

Apakah Anda tahu sebelumnya bahwa Bill Gates (yang punya Microsoft) termasuk anak autis ?
Autis merupakan kelainan psikis yang dimulai sejak anak-anak sampai dewasa karena kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi yang kurang. Autis bisa dialami siapa saja dengan kondisi lingkungan sosial yang beraneka ragam. Bill Gates adalah salah satu contoh penderita autis.
Tujuan utama orang tua melakukan terapi terhadap anak-anak mereka yang menderita autis adalah bahwa mereka menginginkan anak-anak dapat hidup normal kembali seperti anak-anak pada umumnya yang dapat berkomunikasi secara normal. Hal tersebut akan menjadi sulit jika anak-anak mereka tidak dapat berkomunikasi secara verbal.

Peneliti dari Northwestern University menemukan metode pengajaran baru bagi anak-anak penderita autis agar dapat berkomunikasi yang disebut dengan virtual peer.
Menurut Justine Cassell, professor ilmu komunikasi dan teknik elektro, metode baru ini dapat bekerja secara baik dan dapat memberikan terapi yang optimal pada anak-anak penderita autis. Cassell mengatakan bahwa anak-anak autis dapat berkomunikasi/bercakap-cakap dua arah dengan virtual peer.
Cassel dan Andrea Tartaro bekerja dengan 6 anak autis berumur 7 sampai dengan 11 tahun dan data-data dikumpulkan dari anak-anak penderita autis dan bukan penderita serta virtual peer yang diberi nama Sam.

Para peneliti dirancang Sam untuk melihat sekitar delapan tahun dan untuk menjadi ambigu jender. Sam diproyeksikan ke layar dan muncul sebagai ukuran kehidupan anak dengan rumah boneka yang menampilkan perabotan dan patung-patung bergerak. Para peneliti menemukan bahwa anak-anak autistik menghasilkan lebih kontingen kalimat ketika mereka berbicara dengan Sam dibandingkan dengan anak yang nyata.
Para peneliti menunjukkan bahwa mereka tidak mengatakan bahwa anak-anak autistik harus melihat virtual pertama bagi teman-temannya. Tartaro mengatakan dalam sebuah pernyataan, "Tentu saja kita tidak mengatakan bahwa rekan-rekan virtual membuat teman bermain terbaik bagi anak-anak dengan autisme. Tujuan keseluruhan adalah untuk anak-anak dengan autisme untuk menggeneralisasi keterampilan yang mereka pelajari di sesi latihan dengan rekan-rekan virtual bermakna interaksi dengan anak-anak di dunia nyata. "
Virtual rekan yang baik untuk membantu anak-anak autistik belajar bagaimana berinteraksi dengan anak-anak lain dan mengasah ketrampilan interpersonal mereka karena anak virtual yang dapat menghasilkan jenis tertentu keadaan emosi bila diperlukan. Anak virtual juga tidak bisa sabar dengan anak autis.