Thursday, May 27, 2010

MURI berikan penghargaan band tunanetra termuda kepada siswa SLB-A YAAT Klaten DIY

Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kepada siswa SLB-A Yayasan Asuhan Anak-anak Tuna (YAAT) Klaten, Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk kategori kelompok musik (band) tunanetra termuda yakni Band Pijar.

Aksi pecah rekor tersebut dilangsungkan di hadapan juri Muri pusat, Kamis (19/3) bertempat di DP Mall Semarang di Jl Pemuda No 150. Guna memecahkan rekor tersebut mereka hanya membutuhkan masa latihan hingga enam bulan.

Band Pijar terdiri dari Pajar Prasetyo (8) penabuh drum, Yoga Pratama (8) pembetot bass, Aulia Rahma (6) keyboard, Parsetyo Nugroho (8) gitar, Vita Ardiyana (11) vokalis, Yuliani (12) vokalis. Mereka memainkan 10 buah lagu baik lagu nasional, tembang lawas juga lagu popular saat ini seperti dari ST 12 dan Gita Gutawa.

Pelatih dua tim pemecah rekor Muri SLB A Klaten, Agus Putranto mengatakan, aksi pecah rekor tersebut dilakukan berdasar rekomendasi atau saran dari Direktorat PSLB di Jakarta.

“Kami tidak siapkan sendiri tema pecah rekor ini, tapi atas tawaran Dit PSLB pusat. Untuk kelompok musik tuna netra termuda latihan intensif selama tiga bulan sedangkan kategori tuna netra yang bisa akses 14 aplikasi komputer latihan enam bulan,” ujarnya.

Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang, Drs Ciptono, mengatakan kegiatan ini sengaja diselenggarakan untuk menunjukan bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) juga dapat berprestasi. Sehingga dia menyelenggarakan prestasi ABK di DP Mall, Semarang, tersebut mengusung tema "Aktualisasi Diri Keberbakatan Siswa Berkebutuhan Khusus 2009".

"Acara ini bertujuan sebagai ajang sosialisasi bagi anak-anak berkebutuhan khusus se-Jawa Tengah, sekaligus untuk menunjukkan prestasi-prestasi yang dimiliki anak-anak tersebut. Karena, cacat bukanlah halangan, seandainya mereka dididik dengan hati, akan menghasilkan prestasi yang membanggakan," katanya.[\]

Sumber: Kompas Cetak (Oleh Pepih Nugraha)
Senin, 9 Februari 2009 07:34 WIB.

Ketika Anak Autis Menginjak Remaja

Ada kalanya orangtua tidak sadar anak penyandang autis bakal memasuki masa remaja penuh gejolak. Jika tidak dipersiapkan dengan baik akan muncul banyak masalah karena ketidakmampuan interaksi sosial pada diri anak.

Autis diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan otak yang menyebabkan hambatan interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap yang tidak biasa, seperti tindakan sama yang berulang-ulang dan keterikatan berlebihan pada benda atau obyek tertentu. Autis empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki daripada anak perempuan.

Karena dianggap anak tidak bisa berinteraksi atau tidak peduli jika diajak bicara, orangtua sering kali enggan memberi informasi kepada anaknya yang autis tentang perubahan yang akan terjadi bila anak menginjak usia remaja.

Padahal, informasi ini penting agar anak autis paham bahwa ketika remaja beberapa bagian tubuhnya akan berubah. Emosinya juga semakin menggebu dan hasrat seksualnya mulai muncul.

”Anak autis itu seperti anak kecil. Meskipun kelihatannya cuek, ia bisa menyerap informasi yang dia terima. Soal cepat atau tidaknya informasi itu terserap, tergantung ketertarikannya pada persoalan tersebut,” kata Dyah Puspita (45), ibu seorang anak autis yang aktif di Yayasan Autisma Indonesia dan ikut mengelola Mandiga, sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah ini berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur.

Pendidikan seks

Ketiadaan informasi tentang perubahan yang akan dialami bisa membuat anak autis cemas dan takut terhadap tubuhnya sendiri. Pada tingkat lebih parah, kecemasan itu bisa menyebabkan anak menyakiti diri sendiri.

Pengetahuan itu diperoleh Ita, sapaan akrab Dyah Puspita, dari berbagai literatur yang dia baca dan juga pengalaman orangtua yang memiliki anak remaja autis. Karena itu, sejak dini Ita sudah mengajarkan pendidikan seks kepada Ikhsan Priatama (18), anak semata wayangnya, yang menyandang autis.

Melalui gambar manusia sejak bayi, anak-anak hingga dewasa, Ikhsan diajar beberapa bagian tubuhnya akan mengalami perubahan, seperti tumbuh rambut di bagian alat vital, tumbuh kumis, Proxy-Connection: keep-alive Cache-Control: max-age=0 au jenggot.

Ikhsan juga diajar suaranya akan berubah menjadi besar seperti ayahnya yang kini hidup berpisah dari Ikhsan dan ibunya. Pemahaman itu tidak langsung bisa diterima Ikhsan sehingga harus dilakukan berulang-ulang.

”Ikhsan tidak lagi kaget ketika tubuhnya menjadi bertambah tinggi, suaranya berubah, atau tumbuh rambut di sana-sini,” kata Ita. Meski begitu, sampai sekarang Ikhsan tidak suka melihat rambut di tangannya.

Bila tumbuh, Ikhsan bergegas mencukur habis rambut itu. Kata Ita, Ikhsan lebih suka tangannya mulus seperti anak-anak.

Anak autis juga perlu diarahkan untuk mengelola hasrat seksual. Karena tidak sadar lingkungan, anak autis yang tidak mendapat pengarahan bisa menyalurkan hasrat seksualnya di sembarang tempat.

Gayatri Pamoedji, ibu Ananda (18) yang juga menyandang autis dan tinggal di Perth, Australia, tidak melarang Ananda bermasturbasi ketika hasrat seksualnya muncul. ”Anak autis juga punya hak sama terhadap hasrat seksualnya seperti anak lain,” kata Gayatri yang mendirikan komunitas Masyarakat Peduli Autisme Indonesia (Mpati).

Hanya saja, orangtua perlu mengarahkan agar anaknya menyalurkan libidonya di tempat ”aman”. Kepada Ananda, Gayatri mengajarkan, jika hasrat seksualnya muncul, Ananda tidak boleh memegang penisnya di depan umum dan harus melakukan di dalam kamar sendiri setelah mengunci pintu.

”Bila seprai kotor, ia punya tanggung jawab membersihkan dan mengganti seprainya sendiri,” ungkap Gayatri. Ia memberi pendidikan seks kepada anaknya sejak Ananda berusia delapan tahun. Gayatri mengomunikasikan ”aturan” itu dengan gambar-gambar dan kata-kata yang mudah dipahami Ananda.

Ajarkan komunikasi

Untuk memberikan pemahaman kepada anak autis, kata Ita, langkah besar yang harus dilakukan orangtua adalah mengajarkan agar anaknya bisa berkomunikasi lebih dulu. Sayangnya, banyak orangtua ”memaksa” anaknya ikut terapi wicara karena ada anggapan bahasa verbal dianggap sebagai satu-satunya bentuk komunikasi.

”Komunikasi tidak harus dilakukan dengan berbicara. Banyak media lain bisa digunakan untuk komunikasi, seperti tulisan atau gambar,” kata Ita. Dengan metode gambar dan membaca global, yakni mencocokkan tulisan dengan benda nyata, Ikhsan bisa lancar membaca dan menulis. Kini mereka berkomunikasi dengan pesan singkat di telepon genggam atau kartu gambar.

Setelah bisa berkomunikasi, kata Ita, anak perlu disentil kesadaran sosialnya. Caranya, sama seperti mendidik anak pada umumnya, yaitu menerapkan disiplin dan konsekuensi. Anak autis diajarkan hubungan sebab-akibat dari perilaku mereka yang merugikan orang lain. Tentunya anak perlu diberi alasan kenapa mereka mendapat konsekuensi tersebut.

Untuk menegakkan disiplin, misalnya, Felicia (42), ibu yang bekerja swasta di Jakarta ini, tidak mau mengajak pergi Sultan (15), anaknya, jika ia masih suka marah-marah di depan umum. Belajar dari konsekuensi semacam itu, Sultan kini sudah lebih tertib bila diajak bepergian.

Dengan komunikasi, Ita juga bisa meredakan emosi Ikhsan. Anak autis biasanya memiliki emosi tinggi karena mereka tidak mampu mengungkapkan apa yang dia inginkan sehingga menjadi frustrasi.[\]

Sumber: KOMPAS, Lusiana Indriasari
Minggu, 22 Maret 2009, 02:49 WIB.

Prestasi Anak SOIna

Pada ajang Special Olympics World Summer Games (SOWGs) XII, pada 2-11 Oktober 2007 di Shanghai China, Kontingen SOIna (Special Olympids Indonesia) mengirimkan 30 kontingen dari 20 atlet, 8 pelatih, 1 official, dan 1 ketua kontingen.

Pada event tersebut, Indonesia telah bersaing dengan 168 negara. Dari 23 cabang olahraga yang dipertandingkan, SOina mengikuti tiga cabang atletik, bulu tangkis, dan tenis meja. Akhirnya SOIna memperoleh Total Medali : 9 Emas , 9 Perak , 4 Perunggu , 7 Ribon (4), 6 Ribon (5), 2 Ribon (6), 1 Ribon (7), 1 Ribon (8).

Kemudian tahun berikutnya pada ajang Special Olympiad Australia National Junior Games, kompetisi internasional untuk tingkatan Sekolah Luar Biasa (SLB), yang diselengga-rakan di Canberra Australia, 11 hingga 13 April 2008. dalam kompetisi ini, Indonesia memborong 6 emas, 4 perak dan 3 perunggu.

Dan baru-baru ini Tim SOIna berhasil menoreh prestasi gemilang pada olympiade musim dingin tunagrahita tingkat dunia, (Special Olympics World Winter Games/ SOWWG) 2009 di Idaho, Amerika Serikat. Prestasi yang diraih anak difabel ini adalah 2 medali emas, 2 perunggu dan 1 ribbon.

Prestasi tersebut diraih dalam cabang olahraga Snowshoeing (lari di atas salju). Dua Medali emas diraih oleh Abdul Hadi (24) dalam nomor 400 meter dan Chahyo Estiadi Budi Syahputro (21) dalam nomor 100 meter. Sementara medali perunggu diraih oleh Chahyo Estiadi Budi Syahputro dalam nomor 200 meter dan Johannes Nugroho Kurniawan (36) dalam nomor 50 meter. Adapun ribbon (pita) urutan 6 diraih oleh Johannes Nugroho Kurniawan dalam nomor 25 meter.

SOIna merupakan organisasi berakreditasi menyelenggarakan pelatihan dan kompetisi olahraga penyandang Tunagrahita di Indonesia. Beberapa anak yang tergabung dalam SOIna telah berhasil mengukir prestasi ditingkat internasional.***

Foto oleh SOIna:
Tiga atlet SOIna dalam kompetisi musim dingin Special Olympics World Winter Games/ SOWWG) 2009 di Idaho, Amerika Serikat, (ki-ka): Johanes N. Kurniawan, Cahyo Estiadi, Abdul Hadi.

Stephanie Handoyo Unjuk Kemahirannya Memainkan Piano dengan Membawakan Musik Klasik

Stephanie Handoyo (17) memperlihatkan kemahirannya memainkan piano pada acara Aktualisasi Diri Keberbakatan Siswa Berkebutuhan Khusus (ABK) di Duta Pertiwi Mall, Kota Semarang, Kamis (19/3/2009).

Unjuk kemahirannya memainkan piano dengan membawakan musik klasik disaksikan oleh Walikota Semarang Sukawi Sutarip, peserta Workshop Sentra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK-PLK) se Indonesia, para anggota asosiasi keterampilan, pejabat Direktorat PSLB Depdiknas, pejabat dinas pendidikana Kota Semarang, dan beberapa seniman senior ibukota seperti aktor Didi Petet, model Keke Harun, dan penari Nungki Kusumastuti.

Melalui perlihatkan penuh dan semangat yang penuh dari orangtuanya dan sekolah, siswa ABK dapat memperlihatkan kemampuan yang sama seperti siswa normal, bahkan dapat melebihi.

Sang mama mengatakan, anak-anak seperti Stephanie perlu ruang aktualisasi diri, agar lebih terarah. "Terkadang orangtua kurang paham bahwa mereka (anak difabel) juga memerlukan wadah aktualisasi diri, dan dari situ kita dapat melihat keberbakatan anak dan minat mereka," kata M. Yustina Tjandrasari.

Selain piano Stephanie juga dapat berenang. Ia pun mengikuti sejumlah kompetisi bersama tim SOIna (Special Olympids Indonesia). SOIna merupakan organisasi berakreditasi menyelenggarakan pelatihan dan kompetisi olahraga penyandang Tunagrahita di Indonesia. Beberapa anak yang tergabung dalam SOIna telah berhasil mengukir prestasi ditingkat internasional.

Salah satunya yang berprestasi adalah Stephanie yang menyabet Juara 1 kompetisi renang gaya dada 50 meter pada National Swimming Championship 2008 di Singapura, lalu Juara 2 kompetisi renang gaya dada 100 meter di Kejurnas SOIna 2005, Juara 2 kompetisi renang gaya bebas 100 meter di Kejurnas SOIna 2006, dan Juara 1 kompetisi renang gaya dada 50 meter di Kejurda SOIna 2007.

Pada 28 Maret 2009, Stephanie akan mengikuti kompetisi renang National Swimming Championship 2009 di Singapora, dan 4 Juli 2009 akan mengikuti Special Olympids di Singapura. ***

Sumber: KOMPAS

Habibie Afsyah, Dari Atas Kursi Roda Merajut Sukses


Keterbatasan fisik bukan halangan untuk berjuang meraih kesuksesan. Dari atas kursi roda, Habibie Afsyah menekuni profesi sebagai internet marketer dengan penghasilan jutaan rupiah. Habibie mungkin tidak seberuntung anak muda lainnya yang dianugerahi kesempurnaan fisik. Ia mengalami kelumpuhan sejak kecil yang membuatnya harus mendapat bantuan dari orang lain dalam setiap gerak kesehariannya. Namun demikian, keterbatasan yang ada tidak membuatnya manja dan surut beraktivitas. Ia menolak berkecil hati dan ingin mandiri.

Sosok Habibie mungkin tidak asing lagi. Ia kerap menjadi narasumber dalam seminar bisnis, motivasi, dan inspirasi. Wajahnya pun beberapa kali menghiasi layar televisi. Itu berkat kiprahnya meraup penghasilan melalui bisnis online yang digelutinya sejak tahun 2007. Kepada Kampus yang bertandang ke kediamannya di kawasan Setiabudi, Jakarta, pemuda kelahiran Jakarta 6 Januari 1988 ini menuturkan kisahnya, yang semoga dapat menginspirasi kawan-kawan Kampus.

Dalam kamar berukuran sekitar 3 x 4 meter yang berfungsi sebagai ruang kerja, Habibie menjalani kesehariannya sebagai internet marketer. Terdapat satu set PC yang diakrabinya setiap hari dengan menggunakan dua jari yang masih bisa aktif digerakkan. "Sekitar 8 jam per hari," kata Habibie, mengungkapkan kebiasaan durasi online per harinya yang digunakan untuk untuk menjawab e-mail hingga mengelola situs web, dll. "Kalau bosan ya, main game, chatting, atau Facebook-an," katanya.

Melalui bisnis online yang digelutinya, Habibie berhasil meraup keuntungan sekitar 5986 US dollar atau sekitar Rp 65 juta dalam setahun. Jika dihitung kotor, berarti Habibie memperoleh penghasilan Rp 5 juta per bulan dari kursi rodanya. Lantas bagaimana cara Habibie bekerja? Habibie mengikuti bisnis online dalam sebuah situs asal Amerika www.amazon.com. Habibie menjadi perantara pembelian barang-barang yang ditawarkan Amazon. "Seperti broker atau bahasa populernya makelar gitu loh," kata Habibie.

Untuk memasarkan barang-barang yang ada di Amazon, Habibie melakukan berbagai upaya. Di antaranya memasarkan pada situs pribadinya yang bernama www.habibieafsyah.com. Jadi, jika ada orang yang meng-klik iklan barang tersebut, akan langsung terkoneksi pada situs Amazon. Jika orang tersebut jadi membeli barang tersebut, Habibie akan mendapatkan komisi atau disebut juga referral fees. Kesimpulannya, semakin banyak orang yang membeli karena perantaranya, maka akan semakin banyak keuntungan yang diraup oleh Habibie.

Bisnis online Amazon itu ia tekuni pada Juni 2007 hingga Juli 2008. Namun karena krisis global, yang membuat berbagai kebijakan Amazon berubah, penghasilannya di Amazon mengalami penurunan drastis. Ia pun menutup penjualannya di sana, dan mencoba mencari peluang pasar dalam negeri. Bersama sang ibunda, Habibie memulai bisnis online yang menjual produk-produk, di antaranya properti, memasarkan ponsel dengan konten utamanya Alquran, pemberian pelayanan ibadah haji dan umrah, hingga memasarkan madu murni Perhutani. Kini, Habibie setiap harinya mengoperasikan tak kurang dari 5 situs-situs bisnis online-nya tersebut.

Penghasilan per bulan yang diperolehnya sekitar Rp 4-5 juta. Itu belum termasuk penghasilan yang didapat dari honor-honor yang diterima sebagai pembicara di seminar-seminar, atau undangan lain sebagai bintang tamu di radio dan televisi.

Menurut dia, bisnis online tidak ada bedanya dengan bisnis offline. "Bedanya kalau bisnis offline asetnya itu tanah, gedung, dsb., sedangkan bisnis online asetnya itu domain dan hosting," kata Habibie. Keberadaan internet sendiri mempermudah orang untuk mempromosikan penjualan barangnya. "Orang-orang banyak menganggap perlu modal besar untuk berbisnis, itu yang sering menghambat. Orang harus punya toko, padahal tidak selalu begitu. Tidak semua orang punya modal fisik dan material yang sama. Maka, mulailah dari apa saja yang ada," kata Habibie.

Habibie memberi tips bagi orang yang berminat menjadi internet marketer. Kuncinya adalah membuat sebuah situs web yang di buat sedemikian rupa sehingga bisa menarik seseorang untuk berkunjung setelah mengetikkan suatu kata kunci. Jika pengunjung tersebut telah sampai pada situs yang dimaksud, kemungkinan untuk membeli atau menghubungi contact person yang tercantum di sana akan lebih besar.

Habibie menuturkan cara-cara yang bisa ditempuh agar sukses dalam bidang online marketing, di antaranya temukan kata kunci yang tepat dan mudah terpikirkan oleh orang yang nantinya akan dipasang sebagai sebuah judul situs, lalu membuat banyak tautan (link), eksplorasi desain situs, mengisi situs tersebut dengan artikel tulisan yang berkaitan, dll. "Bisnis online marketing belum terlalu familiar walau sekarang sudah mulai banyak yang mencobanya, dan peluang ke depannya masih terbuka dan cerah," kata Habibie.

***

Ada figur hebat yang ada di balik ketegaran dan kesuksesan Habibie. Adalah Endang Setyati, atau dikenal juga sebagai Ibu Habibie, yang setia melimpahkan kasih sayang pada anaknya yang mengidap Muscular Dystrophy Progressiva. Endang selalu mendampingi anaknya di beberapa seminar atau di berbagai talkshow di radio dan televisi.

Endang menuturkan bahwa Habibie mengalami gangguan otak secara permanen yang disebabkan terjadinya mutasi gen sehingga menyebabkan penderitanya mengalami kelumpuhan. "Ini termasuk penyakit langka. Terjadinya 1:30.000. Dampaknya, semakin bertambah umur, semakin melemah," kata Endang

Perempuan kelahiran Yogyakarta, 17 Desember 1951 ini, sempat merasa shock dan sedih ketika mengetahui anaknya mengalami cacat fisik. "Harapan seorang ibu kan ingin anaknya sempurna. Tetapi Allah memberikan saya anak seperti itu, saya ikhlas saja. Saya anggap itu bukan musibah, namun anugerah karena saya diberi keistimewaan dan rahman Tuhan di antara 30 ribu orang. Saya anggap jalan ke surga," kata Endang.

Endang menuturkan, ketika Habibie masih kecil, ia selalu berjuang keras untuk kesembuhan Habibie, terutama agar Habibie bisa berjalan lagi di atas kakinya sendiri. Namun atas keterangan dari dokter dan informasi yang diaksesnya di internet yang menyatakan bahwa harapan kesembuhan sangat kecil, ia pun mulai mengubah sistem asuhannya pada Habibie. "Saya tidak lagi berjuang agar Habibie bisa jalan, tetapi lebih baik saya berjuang keras memotivasinya, membangkitkan percaya dirinya, untuk masa depannya," kata Endang.

Habibie di sekolahkan oleh Endang tidak pada sekolah khusus anak berkebutuhan khusus, namun pada sekolah formal. "Selain Habibie sendiri tidak nyaman, menurut rekomendasi dokter, Habibie termasuk anak yang cerdas sehingga mampu di sekolah formal," kata Endang. Terbukti, Habibie senantiasa meraih prestasi bagus di sekolahnya, paling tidak selalu berada dalam peringkat 5 besar. "Bahkan, ia suka jadi tempat sontekan teman-temannya," kata Endang, seraya tersenyum.

Endang setia mencurahkan kasihnya dan memberi kesempatan besar pada anaknya untuk mengembangkan diri layaknya anak-anak normal. "Saya mengarahkan Habibie untuk banyak ikut seminar dan kursus," kata Endang. Walau Habibie tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, tetapi Endang membekalinya dengan berbagai pendidikan praktis.

Mulai dari kursus web designer, public speaking school, hingga penulisan, dijajal oleh Habibie. Termasuk juga pendidikan tentang online marketing. Habibie yang memang dasarnya hobi bermain komputer, game, dan berselancar di dunia maya, dengan senang hati mengikuti pendidikan bisnis online tersebut. Itulah yang menjadi awal Habibie dan juga dibantu Endang, mulai menekuni profesi internet marketer.

"Saya suka dengar info, walau masih samar terdengar, bahwa internet bisa menghasilkan uang. Waktu itu ada seminarnya, lalu saya ajak Habibie ke sana," kata Endang. Semenjak itu, Habibie dan Endang seringkali menjadi peserta dalam berbagai seminar dan pendidikan tentang online marketing. Kini, Endang dan Habibie juga tengah membidani kelahiran buku pertama mereka yang mengupas tentang motivasi.

Habibie dan Endang ibarat paket lengkap motivator andal yang kini terbilang sering berbicara di mana-mana. Bagi Endang, setiap individu memiliki kekurangan, tetapi sebaiknya kita tidak boleh terbelenggu oleh kekurangan. Justru sebaliknya kita harus mencari kelebihan yang ada pada diri kita dan mengembangkannya.

Habibie sendiri terpilih menjadi ikon Gerakan Nasional "Ayo Mandiri" yang bertujuan mengajak sebanyak-banyaknya keluarga terjun dalam dunia kewirausahaan. Selain itu, sejak November 2008 lalu, Habibie juga mengembangkan Yayasan Habibie Afsyah untuk menjadikan anak-anak sepertinya menjadi manusia-manusia yang mandiri secara finansial dan sosial. Anak-anak yang bisa hidup tanpa menunggu dan mengharapkan belas kasihan orang lain, serta bisa membekali dan mengembangkan potensi diri. "Jangan menyerah pada keadaan. Asal ada kemauan kuat, bagaimanapun keadaannya, setiap orang bisa sukses," kata Habibie. ***

sumber: Pikiran Rakyat
dewi irma
kampus_pr@yahoo.com
http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=94603

Farrel, tunanetra cilik masuk rekor MURI bidang IT

Tunanetra cilik masuk rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) bidang informasi teknologi (technology information/ IT) di Semarang. Ia mampu mengaplikasikan 14 program komputer. Bagaimana bisa?

Adalah siswa Kelas 2 dari SD Inklusi Putra Bangsa, Klaten, Yogyakarta, Alexander Farrel Rasendria Haryono (7), diuji atas kemampuannya mengaplikakan 14 program komputer oleh MURI yang diadakan di Duta Pertiwi Mall, Kota Semarang, Kamis (19/3/2009).

Program komputer yang uji adalah Ms Word, Ms Excel, program translator huruf cetak ke braille dan sebaliknya (Duxbury), program translator huruf cetak ke braille dan sebaliknya (MBC), kamus bicara (meldict), Embossing, Printing, open book, Internet, browsing, mailling list, chating, hitungan digital, dan game auditif.

Bagaimana bisa tunanetra mengaplikasikan komputer, melihat saja tidak bisa? Mungkin hal itu akan ada dibenak kita semua. Walau ia tidak melihat, namun ia bisa mendengar. Nah, komputer bukan komputer dengan perangkat biasa, yang digunakan menggunakan perangkat lunak dengan fasilitas pengiriman 'voice' kepada si pengguna komputer, maksudnya ada suara yang muncul.

Setiap ia menekan toot/ tombol keyboard komputer, maka akan ada sinyal suara yang didengar oleh anak tersebut. Misalnya menekan enter, maka suara yang didengar adalah 'enter' dengan dialeg Inggris.

Penjelasanya rumitnya, pada komputer cukup memasang soundcard dan speaker pada komputer, lalu memasang software pembaca layar (screen reader) yang fungsinya sama seperti yang telah penulis jelaskan di atas. Produk pembaca layar yang sangat populer dan juga penulis gunakan hingga saat ini adalah JAWS (Job Access With Speech).

Nah, lewat aplikasi JAWS inilah pengguna komputer tunanetra semakin memperluas pengetahuan dalam mengaplikasikan komputer. Lebih dari itu, tunanetra dapat mengoperasikan berbagai pengolah kata, pengolah data, spreadsheet, aplikasi pembuat musik, multimedia, messenger, bahkan berselancar di internet dan mendesain situs ini. Bahkan para tunanetra juga dapat bercakap-cakap via messenger, burn CD/DVD, melakukan konversi audio/video, dan belajar beberapa bahasa pemrograman seperti Visual Basic dan Visual C++.

Bahagia

Pada kesempatan itu, MURI menyerahkan penghargaan kepada beberapa pihak yang dianggap berjasa terhadap pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus dan penghargaan diserahkan oleh perwakilan MURI, Paulus Pangka.

Penghargaan kepada Farrel, pihak MURI menyerahkan sertifikat rekor Indonesia kepadanya dalam kategori "Tunanetra Termuda yang Mampu Mengoperasikan Komputer 14 Program"
yang didampingi Kepala SLBN Semarang Ciptono selaku penyelenggara, dan Kepala SLB-A Yayasan Asuhan Anak-anak Tuna (YAAT) Klaten, DIY, Drs Subagya MSi.

Rasa bahagia terpancar dari Farrel dan rekan-rekan yang menyaksikan kebolehan Farrel tersebut. Pengujian rekor MURI tersebut disaksikan juga oleh Direktur Pembinaan SLB Ekodjatmiko Sukarso dengan pejabat dan staf dilingkungan Direktorat PSLB, mitra asosiasi keterampilan Direktorat PSLB.

“Kami sangat senang dan bangga dengan penampilan para siswa. Semua jerih payah perjuangan selama latihan telah terbayar lunas dengan mampu tampil optimal di hadapan juri nasional,” papar Agus Putranto, pelatih pemecah rekor Muri SLB A Klaten.

Sementara sekolah Farrel di Noble Room SD Inklusi Putra Bangsa, Klaten, Yogyakarta, merupakan sekolah pendamping dari SLB-A Yayasan Asuhan Anak-anak Tuna (YAAT) Klaten, Yogyakarta.

Ramaditya

Sebelumnya Eko Ramaditya Adikara atau Rama telah memboyong rekor MURI untuk kategori blog pertama di Indonesia yang dibuat oleh seorang tunanetra (ramaditya.com) Muri memberinya penghargaan itu pada 2003 silam. Dalam satu bulan ke depan, ia berencana mencetak rekor Muri baru untuk kategori membuat otobiografi yang ia ketik sendiri selama 24 jam nonstop tanpa konsep yang berbentuk fisik.[\]
 
Sumber: Kiting Damalis

CIPTONO: Pencari Bakat Anak Berkebutuhan Khusus

Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang-orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.
Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.
Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi ”hari mereka yang berkebutuhan khusus”.

”Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka,” kata Ciptono.
Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk ”Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa” itu. Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.
Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ”Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.”

Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.
Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.
Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD). Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.
Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ”hanya” memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.

Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.
”Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,” tutur Ciptono.

Sumber: Kompas Cetak (Oleh Pepih Nugraha)
Senin, 9 Februari 2009 07:34 WIB.

Membuka diri Untuk Mengajar Anak Special Needs

KOMPAS.com - Para guru TK diajak untuk mulai mendata anak-anak berkebutuhan khusus di wilayahnya. Sekolah pun mulai mengumumkan secara terbuka untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Menurut Sitti, ABK seperti penyandang autis dan down syndrome yang ada di TK ini justru kemajuannya lumayan. Pasalnya, mereka berbaur dengan anak-anak reguler. Jadi, mereka tertantang untuk tidak ketinggalan dalam belajar. Meski tidak ditetapkan secara resmi sebagai sekolah inklusi, banyak SD di Kabupaten Enrekang yang mulai menerima ABK di sekolahnya. Kebijakan itu membuat ABK yang tidak bisa mengakses SLB bisa menikmati bangku sekolah, belajar bersama anak-anak lainnya.
Belum tersedianya guru pembimbing khusus yang berkualitas di sekolah-sekolah membuat layanan ABK di sekolah reguler tidak maksimal.
Najmiani, Kepala SDN 74 Bolang, Kecamatan Alla, mengatakan, sekolah ini mulai menerima siswa berkebutuhan khusus sejak tahun lalu. Layanan itu diberikan karena orangtua siswa yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus sulit mengakses SLB.
Di sekolah tersebut ada empat ABK, antara lain, gangguan penglihatan, autis, dan tunarungu. Para siswa berasal dari keluarga miskin dengan mata pencarian orangtua umumnya sebagai petani.
Merebaknya sekolah inklusi di Kabupaten Enrekang itu setidaknya bisa menjangkau 258 siswa ABK. Ada sekitar 80 SD yang membuka diri untuk menerima ABK meskipun tidak semuanya secara resmi ditetapkan sebagai sekolah inklusi.
Widya Prasetyanti dari HKI mengatakan, terbukanya sekolah untuk menerima ABK tumbuh dari kesadaran para pendidik dan masyarakat. Keluarga pun mulai membuka diri dan membuang rasa malu memiliki anak cacat.
Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Kabupaten Enrekang Akbar Dahali mengatakan, para pendidik di sekolah reguler perlu terus disadarkan untuk tidak membeda-bedakan siswa dalam layanan pendidikan. Sekolah reguler tidak bisa menutup mata melihat ada sejumlah ABK yang tidak bisa mengakses layanan pendidikan karena kecacatan mereka. Hingga saat ini baru sekitar 20 persen ABK yang terlayani pendidikan di SLB. Padahal, anak-anak ini juga memiliki hak yang sama untuk menikmati pendidikan demi masa depan mereka. Semangat mengembangkan pendidikan inklusi yang tumbuh di Enrekang mulai memberi harapan. Anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik pun tidak lagi terhalang untuk mengembangkan diri.

Editor: jimbon

Sulitnya Menangani Anak-anak Berkebutuhan Khusus


KOMPAS.com - Asmirandah Yanti (5) selalu bersemangat saat diberi buku bacaan anak. Meski matanya hampir melekat di kertas buku, Asmirandah yang memiliki masalah penglihatan—akibat lensa di dalam matanya tak menyatu—tidak pernah bosan melihat-lihat buku bacaannya.
Sudah hampir enam bulan ini Asmirandah diajar secara khusus oleh Munawar, guru honorer Taman Kanak-kanak (TK) Pertiwi 1 Cakke, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Bersama Asmirandah, ada Rais (7) yang tangan kanan dan kakinya kurang sempurna, serta Hasbil (3) yang kedua telapak kakinya ke belakang. Mereka belajar bersama-sama.
Anak-anak yang memili ki keterbatasan fisik itu kesulitan untuk bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) yang berlokasi di pusat ibu kota kabupaten. Untuk bersekolah di TK atau SD reguler yang dekat dengan rumah juga sulit.
Karena itu, Munawar yang mendapat pelatihan soal pendidikan inklusi dari Helen Keller International (HKI), lewat program National Opportunities for Vulnerable Children, melakukan terobosan dengan berkunjung langsung ke rumah anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
”Anak-anak itu sebenarnya punya semangat tinggi untuk belajar,” ujar Munawar yang merogoh kocek sendiri senilai Rp 30.000 tiap kali berkunjung ke rumah Asmirandah di Desa Malua.
Di rumah itulah, ketiga anak berkebutuhan khusus itu diajar untuk mandiri dengan keterbatasan fisik mereka, serta bermain dan belajar untuk merangsang keinginan belajar. ”Anggota keluarga juga terlibat supaya mereka mendorong anak-anak ini nantinya mau bersekolah. Mendidik ABK sejak dini bisa membuat lebih percaya diri untuk bersekolah,” kata Munawar.
Mengajar anak berkebutuhan khusus di usia dini di rumah juga dilakukan Sitti Mariani, Pelaksana Tugas Kepala TK Pertiwi 1 Cakke. Sekolah ini sudah lama bersedia menerima anak berkebutuhan khusus yang dibiarkan berbaur dengan anak-anak lainnya.
Selain terjun langsung untuk menjangkau ABK usia dini di kampung-kampung, para guru TK ini juga menyebarkan semangat pendidikan inklusi kepada guru-guru TK lainnya. Upaya ini mulai berbuah, mulai ada guru TK yang mau menjangkau anak berkebutuhan khusus usia dini yang ada di sekitar sekolah atau tempat tinggal mereka.

Jangan Sisihkan Anak-anak “Down Syndrome” Itu…

Wednesday, August 8, 2007

Meski anak-anak down syndrome memiliki keterbatasan, mereka tetap mampu berprestasi. Karena itu, anak-anak down syndrome perlu perhatian, didampingi, dan jangan disisihkan.
“Semua anak haruslah dianggap sama. Janganlah mereka disisihkan. Sebaiknya mereka pun dibekali keterampilan,” kata Ny Mufidah Jusuf Kalla saat hadir pada acara wisuda lulusan SD, SMP, dan alumni Sekolah Luar Biasa (SLB) Dian Grahita, Jakarta, Senin (6/8).
Menurut suster Joanni, Kepala SLB Dian Grahita, wisuda ini sangat berarti bagi anak-anak down syndrome. “Inilah bukti cinta orangtua dan sekolah kepada anak-anak kami. Mudah- mudahan ini titik awal. Saatnya masyarakat menerima dan mencintai anak-anak kami,” katanya.
Down syndrome disebabkan adanya gangguan pada kromosom yang ke-21. Manusia memiliki 23 pasang kromosom. Pada anak down syndrome, kromosom mereka yang ke-21 tidak sepasang (dua), melainkan tiga kromosom (trisomi). Dengan kata lain, down syndrome adalah gangguan genetik.
Pada wisuda hari Senin lalu, ada 30 anak yang diwisuda. Tujuh anak adalah lulusan SD, 11 lulusan SMP, dan 12 anak adalah alumnus SLB Dian Grahita. Mengenakan jubah dan toga berwarna ungu, mereka sangat antusias mengikuti acara wisuda yang dimeriahkan tari-tarian dari rekan-rekan mereka.
Menurut Ketua Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI) Aryanti Rosihan Yacub, setelah tamat sekolah, anak-anak pada umumnya akan mengejar masa depan. Akan tetapi, para orangtua anak-anak down syndrome justru mengalami ketakutan bagaimana masa depan anak-anak mereka karena keterbatasannya.
“Karena itu ada ISDI, agar kehidupan mereka berguna dan berarti. Ada banyak rintangan dan cucuran air mata. Asuransi kesehatan pun menolak mereka karena takut rugi. Tetapi, dengan keterbatasan mereka, anak-anak ini sebetulnya juga dapat berprestasi mengangkat nama bangsa dan negara di dunia internasional,” kata Aryanti.
Kimberly, yang baru saja lulus SD (biasa dipanggil Kim Kim) pada SLB Dian Grahita, misalnya. Walaupun untuk berjalan saja Kim Kim mengalami kesulitan, tetapi begitu “nyemplung” ke kolam renang, ia bak ikat pesut yang bergerak cepat.
Michael Rosihan Yacub, yang lulus SMP, telah berpraktik kerja di British International School. Ia pun mampu mandiri. Robby Eko Raharja yang juga lulus SMP, selain lincah memainkan keyboard juga menang terus dalam acara-acara pekan olahraga.
Alumni SLB Dian Grahita, seperti Adrian Raharja, pun pernah menjadi juara I renang Porcaba 2005, mendapatkan medali perak Bocce di Taipei (Taiwan), juara I Bocce Porcaba 2007.
Tak semua anak down syndrome menyusahkan keluarganya. Seperti Marisa (16), siswa SMA Triasih di Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Ia bisa mandiri dan sangat senang menari.
Betapa pun anak-anak, down syndrome ada di sekeliling kita. Adalah kewajiban kita untuk membekali mereka dengan keterampilan guna menghadapi masa depan…. (LOK)

Sumber: http://www.kompas.co.id, Rabu, 08 Agustus 2007

Wednesday, May 26, 2010

Pendidikan Inklusi Anak Special Needs di Indonesia


Terlepas dari masih banyaknya kekurangan, harus jujur diapresiasi bahwa pemerintah pada masa kepemimpinan SBY-JK cukup berfikiran terbuka dan mau membuat perubahan. Salah satu yang patut dihargai adalah dicanangkannya Program Pendidikan Inklusi. Sebuah model pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah umum bersama anak-anak lain sebayanya, tidak harus di SLB.
Namun demikian, masih banyak masalah ataupun kendala yang ditemui di lapangan. Beberapa diantaranya; (1) belum bakunya sistem assessment anak berkebutuhan khusus, (2) belum terumuskannya kurikulum inklusi, sebuah kurikulum yang peka dan mau menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus anak, serta mampu memfasilitasi pengembangan potensi dan kecerdasan setiap anak termasuk anak berkebutuhan khsusu (perlu diingat bahwa setiap anak adalah cerdas di potensinya masing-masing). (3) belum tersedianya cukup sumber daya pendidik, secara kualitas maupun kuantitas, untuk melakukan pengajaran pada anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, (4) masih terbatasnya dukungan dana dari pemerintah untuk pengembangan pendidikan inklusi.


Menyangkut persoalan pertama, berbagai usaha telah dilakukan termasuk diantaranya didirikannya Asessment Center Nasional yang ditempatkan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Begitu pula menyangkut persoalan ketiga, mata kuliah pendidikan anak berkebutuhan khusus sudah dimasukkan dalam semua jurusan pendidikan dan keguruan. Proses pelatihan maupun usaha sertifikasi telah dilakukan bagi guru-guru yang menerima anak berkebutuhan khusus. Perekrutan Guru Pendamping Khusus (GPK) juga sudah dilakukan meski jumlah masih jauh dari memadai. 


Persoalan dana juga dapat diusahakan melalui kreativitas sekolah untuk menggali dana dan membangun kemitraan (base on community) guna mencukupi kebutuhannya akan sarana pengembangan kreativitas anak berkebutuhan khusus tanpa harus membebankannya pada orang tua. Pengajaran musik dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan orang tua atau masyarakat di sekitar sekolah yang memiliki ketrampilan memainkan alat musik atau bahkan memiliki alat musik sendiri. Tak terkecuali dengan pengajaran ketrampilan, olahraga, otomotif dan sebagainya. Tidak harus segalanya dibeli dan dimiliki. Namun demikian, pemerintah juga harus meningkatkan dukungannya sekalipun ada sekolah telah menjalin kemitraan.
Persoalan tersisa adalah menyangkut kurikulum. Kurikulum yang ada hanya tunggal yaitu menyamaratakan potensi anak dan menuntut anak mencapai standar kurikulum tersebut. Sebuah kurikulum yang menghendaki siswanyalah yang mengalah dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan potensi siswa. Kurikulum seperti ini sebenarnya juga berat dan kurang sesuai bagi anak-anak “normal”, terlebih lagi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Melalui kurikulum semacam ini, anak berkebutuhan khusus yang masuk sekolah inklusi bukannya mendapat pendidikan layak melainkan akan memperburuk kondisi anak karena kebutuhannya tidak terpenuhi. 
Ambil contoh seorang anak retardasi mental ataupun ber-IQ borderline (dibawah 80). 
Ketika masuk sekolah inklusi, anak seperti itu dipaksa oleh kurikulum dengan keharusan harus menguasai pelajaran. Padahal, anak-anak yang ber-IQ diatasnya saja belum tentu bisa. Menghadapi kendala ini, jika sekolah tidak menyerah dan menyerahkan kembali anak ke orang tuanya, biasanya sekolah akan melakukan berbagai rekayasa dan sangat mungkin kecurangan untuk membantu kelulusan anak.

Sering alasan yang dikemukakan adalah kebutuhan adanya angka yang dapat dijadikan tolak ukur. Alasan tersebut sepertinya lebih terlihat karena keengganan untuk repot. Padahal  alasan sesungguhya hanya masalah teknis. Jika menghendaki angka, bisa saja proses dikuantifikasi dalam bentuk angka. Banyak negara telah berhasil pula menerapkannya. Misalnya, dengan kurikulum pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi siswa yang beragam. Ada yang di bidang sains, humaniora, olahraga, seni, atau jurnalis dan banyak lagi. Pendidikan yang mencetak anak-anak yang percaya diri dengan potensinya masing-masing. Pendidikan yang menghargai jerih payah dan kreatifitas.
Pendidikan inklusi membutuhkan kurikulum yang sensitif dan luwes. Sebuah kurikulum pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi setiap siswa sepenuhnya (special needs education). Diawali dengan penyediaan beragam aktifitas dan fasilitas untuk eksplorasi potensi dan minat anak untuk kemudian selanjutnya memberikan pengajaran yang mengarahkan pada pengembangan potensi. Sehingga anak akan cukup memiliki harga diri karena memiliki sebuah kemampuan. Harapannya, anak bisa mandiri dengan kemampuan yang ia milikinya kelak. 

Dibutuhkan sebuah kurikulum yang bukan sekadar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa dan mengejar standar kurikulum semata melainkan berangkat dari penghargaan, optimisme, dan potensi positif yang dimiliki anak berkebutuhan khusus. Merujuk hal ini pula, penilaian prestasi siswa terutama anak berkebutuhan khusus juga harus mengukur capaian perkembangan potensi siswa, yakni merujuk pada proses, dan bukan pada bagaimana hasil.    

“Presiden Baru”
      
Bagaimana mengatasi persoalan-persoalan diatas? Tanggung jawab juga ada pada  pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintahlah yang mengemban amanat untuk memanfaatkan kekayaan negara guna kesejahteraan rakyat termasuk dalam hal pendidikan. Seiring dengan usainya pesta Pemilu, presiden baru akan terpilih. Namun demikian, siapapun presiden yang terpilih nantinya, perannya sebagai pimpinan pemerintahan yang harus mensejahterakan rakyat tidak kemudian berubah. 

Olah karena itu, sangat diharapkan presiden yang baru kelak dapat mencermati persoalan yang ada menyangkut pendidikan anak berkebutuhan khusus ini dengan cermat dan lebih mampu memberikan perhatiannya. Salah satunya adalah kesediaan untuk menengok kembali garis kebijakan pendidikan menyangkut kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus yang duduk di bangku sekolah inklusi. Keterbukaan diri untuk melibatkan seluruh pihak yang memiliki pengetahuan dan kompetensi di bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus sangat diperlukan. Yang terpenting kemudian adalah keberanian mengambil keputusan yang merombak kurikulum lama yang kaku dan menggantinya dengan kurikulum yang lebih menghargai potensi unik setiap anak berkebutuhan khusus, selain dukungan dana ketimbang dihabiskan untuk rekreasi ataupun belanja keperluan pejabat yang sering tidak masuk akal. Diharapkan presiden yang baru nantinya bukan hanya bisa jadi presiden bagi partainya, melainkan bagi seluruh rakyat, termasuk menjadi Presiden Anak Berkebutuhan Khusus.


M. Salis Yuniardi,  Sidang Redaksi Bestari

Pendidikan Untuk Anak Special Needs

Sejarah mencatat, diawali saat mereka lebih dilihat sebagai seseorang yang cacat atau “tuna”, dipandang tidak mungkin mampu bersekolah di tempat sama dengan anak lain dan oleh karenanya harus dipisahkan (segregated) serta ditempatkan dalam sekolah-sekolah khusus (special education) baik paruh hari maupun yang berasrama tanpa memandang bagaimana tingkat kekhususan kebutuhan maupun potensi kemampuan anak tersebut. Beberapa di antara sekolah atau pun rumah-rumah tersebut hanya menyediakan akomodasi yang sangat minim, meskipun ada pula yang dilengkapi dengan fasilitas lebih dari memadai yang terletak di daerah yang indah. Namun tempat-tempat ini sering terisolasi dan tersembunyi dari pandangan masyarakat umum.

Banyak masalah ternyata timbul dari model pemisahan berbasis institusi terpusat ini. Misalnya letak yang terisolir terpisah dari keluarga dan juga lingkungan masyarakat. Itu semua membuat anak-anak menjadi kesepian, timbul perasaan dibuang, internalisasi perasaan inferior, menjadi kurang percaya diri dan tidak terampil dalam hubungan sosial. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat mengakibatkan mereka mengembangkan perilaku stereotip negatif. Ini menambah kondisi kecacatan mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut. Selain itu, ada beberapa kasus dimana anak dieksploitasi melalui kerja keras dan situasi yang tidak menguntungkan lainnya. Pelecehan seksual oleh pegawai atau oleh mereka yang tinggal di rumah/institusi itu juga bukan merupakan hal yang tidak biasa (Skjorten, 2002).
Yang menjadi masalah terbesar adalah pendekatan segregasi yang berpusat pada institusi (Institution Based Rehabilitation) tidak mampu menjangkau lebih dari 5% populasi anak berkebutuhan khusus. Faktor biaya tinggi dan kesulitan orang tua memenuhinya menjadi alasan banyak orang tua tidak memilih memasukkan anaknya ke sekolah khusus ini.

Masalah lainnya lahir sebagai dampak dari titik pandang dimana anak-anak ini dilihat sebagai anak yang berkekurangan dan terbatas kemampuannya. Sehingga dasar intervensi adalah bagaimana menutupi kekurangan anak yang selamanya memang tidak akan mungkin tertutupi karena memang terbatas. Sebagai contoh seringkali intervensi terhadap anak-anak tuna netra ditekankan pada bagaimana sedapat mungkin anak ini bisa membaca huruf braille. Itu dilakukan agar ia bisa belajar sebagaimana anak yang bisa melihat dan kemudian dibekali ketrampilan pijat sebagai ketrampilan yang dirasa masih bisa dimiliki anak-anak ini. Cara ini memandang sebelah mata potensi dan minat nyata anak itu sendiri. Cara pandang yang lebih fokus pada keterbatasan anak dan tidak menghargai potensi positif anak ini pada akhirnya gagal memberdayakan anak.
Banyaknya masalah yang terjadi pada model intervensi segregasi membawa pada pemikiran tentang perubahan paradigma, kesadaran, arah tujuan, serta metode. Perubahan paling mendasar adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya “keragaman dan hak setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang sama dengan orang lain”. Hal ini juga menghasilkan upaya-upaya untuk “membawa kembali” ke dalam masyarakat mereka yang sebelumnya telah dipisahkan atau disegregasikan oleh mayoritas terbesar masyarakat karena mereka berbeda. Berkembanglah paradigma inklusi dengan pendekatan secial needs education (pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus). Melalui konsep ini, bukan anak menyesuaikan dengan kurikulum pendidikan, melainkan kurikulum pendidikan menyesuaikan dengan kebutuhan tiap anak (individually adjusted education) termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Untuk ini diperlukan kemauan mengubah dan menyesuaikan sistem, lingkungan, aktivitas serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang dan dalam hal ini dipersyaratkan fleksibilitas, kreativitas dan sensitivitas dari konsep pendidikan itu sendiri.


M. Salis Yuniardi,  Sidang Redaksi Bestari

DICARI, ”PRESIDEN BARU” ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


      I know that physically I am disabled but mentally I like anybody else. I can do everything like anybody else; of course yes I should do in different way….but some way or another… I am able to do like them or even better than them…. (Asley, 21 thn, tidak punya lengan dan kaki namun mampu berenang menyeberangi selat Inggris selama 40 jam tanpa henti). 
   Anak merupakan anugerah terbesar bagi setiap pasangan suami istri. Anak merupakan bukti sekaligus pengikat cinta kasih, tujuan dari kehidupan orang tua, dan tempat harapan disematkan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila setiap orang tua berharap anaknya lahir tumbuh kembang sebagai anak yang sehat dan pintar.
    Sedang bagi sebuah komunitas sangat besar yang bernama negara, anak juga merupakan harapan, dan lebih dari itu anak adalah penerus, penjaga, dan pemimpin masa depan bangsa. Karenanya pula negara tentu menginginkan anak-anak yang sehat jasmani dan rohaninya.
    Namun seringkali pula harapan-harapan ini ternyata tidaklah sesuai dengan kenyataan yang harus diterima. Anak lahir atau tumbuh dengan kondisi dan kemampuan yang berbeda dengan anak kebanyakan, dalam arti memiliki keterbatasan. Laporan WHO (2007) menyebutkan, anak-anak dengan keterbatasan ini jumlahnya diperkirakan mencapai 7% dari populasi anak, dan 85% darinya berada di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan tahun 2001, anak-anak itu mempunyai prevalansi disabilitas (angka kecacatan) yang cukup tinggi – mencapai 39 per sen dari jumlah penduduk.
    Sementara itu, pada september 1990, pemerintah Indonesia meratifikasi The Convention on The Rights of The Child yang dikeluarkan PBB. Paada artikel ke 23 dicantumkan: “a mentally or physically disabled child should enjoy a full and decent life, in conditions which ensure dignity, promote self-reliance and facilitate the child’s active participation in the community” (McConachie, 1995).
    Selanjutnya, pada tanggal 30 Maret 2007 lalu, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, bersama lebih dari 80 negara lain, menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban negara untuk mewujudkannya.
    Keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam penandatangan konvensi-konvensi tersebut tentunya bukan sekadar basa basi pergaulan masyarakat internasional. Alasannya, ikut menandatangani itu berarti Pemerintah Indonesia berjanji mengimplementasikannya dan bersedia dipantau oleh dunia Internasional dalam pelaksanaannya.
      Namun berbicara “janji” sering yang namanya manusia mudah melupakannya, terlebih sekumpulan manusia yang namanya pemerintah Indonesia. Jika dihitung sejak meratifikasi pertama kali yaitu pada tahun 1990 (sekitar 19 tahun), perubahan sikap perlakuan negara terhadap anak-anak berkebutuhan khusus terlihat tidak ada perubahan yang signifkan. Dengan kata lain sangatlah kecil dari yang sebenarnya bisa dilakukan oleh sebuah negara bernama Indonesia.
      Kesempatan pendidikan yang diberikan bagi mereka sangat sangatlah terbatas. Perlakuan khusus yang tentu memerlukan biaya besar membuat akses pendidikan yang memadai bagi mereka tidak terjangkau oleh para orang tua. Sayangnya penyebaran kecacatan lebih banyak terjadi pada menengah bawah akibat rendahnya asupan gizi dan pengetahuan kesehatan. Sedangkan pendidikan khusus semacam Sekolah Luar Biasa (SLB) yang diadakan pemerintah cenderung ala kadarnya dalam pengelolaan akibat rendahnya dana subsidi pemerintah.
      Rendahnya pendidikan semakin ditambah dengan peluang kerja yang sangat terbatas bagi mereka. Tidak ada kebijaksanaan dengan memberikan kesempatan khusus bagi mereka untuk mendapatkan kerja. Belum lagi berbicara mengenai kesejahteraan. Pendekatan yang dilakukan pemerintah lebih banyak bermodel “sinterklas” yang dengan welas asihnya memberikan kado setelah Natal, selepas Natal silahkan dipikirkan sendiri. Sebuah pendekatan yang berdasar pada keyakinan bahwa mereka adalah anak-anak cacat atau tuna, tidak memiliki potensi berdaya dan mandiri, karenanya harus dikasihani. Pendekatan yang sangat tidak manusiawi.



Sumber : M. Salis Yuniardi,  Sidang Redaksi Bestari

Dampingi Anak Berkebutuhan Khusus


Wikiberita.Com – Kesehatan: PERLU perhatian khusus untuk membesarkan anak berkebutuhan khusus. Bila dibimbing secara maksimal, mereka bisa tumbuh seperti anak normal lainnya.
Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia terus meningkat jumlahnya. Pada Hari Autis Sedunia yang jatuh pada 8 April lalu diketahui bahwa prevalensi anak berkebutuhan khusus saat ini mencapai 10 anak dari 100 anak. Berdasarkan data ini menunjukkan 10 persen populasi anak-anak adalah anak berkebutuhan khusus dan mereka harus mendapatkan pelayanan khusus.
Anak yang dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi, gangguan emosional atau perilaku, hambatan fisik, komunikasi, autisme, traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan, dan anak-anak yang memiliki bakat khusus.
“Mereka secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai aktualisasi potensinya secara maksimal,” ucap Dra Psi Heryanti Satyadi MSi saat acara seminar bertema “Mengatasi Anak Berkebutuhan Khusus/Special Needs” yang diselenggarakan KiddyCuts.
Psikolog yang berpraktik di Jalan Paku Buwono VI Nomor 84 Kebayoran Baru ini juga mengatakan, eningkatnya populasi anak berkebutuhan khusus ini salah satunya karena perubahan gaya hidup. “Banyak penyebab meningkatnya angka populasi ini. ang pertama adalah karena semakin banyaknya orang yang peduli terhadap anak berkebutuhan khusus dan adanya perubahan gaya hidup yang memang berbeda pada zaman dulu,” ujarnya psikolog dari I Love My Psychologist ini.
Di zaman sekarang ini, banyak orang tua yang hanya memiliki sedikit waktu untuk keluarga. Hal tersebut juga berdampak pada anak-anak yang menjadi kurang perhatian, terutama pada anakanak yang berkebutuhan khusus. “Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya,” papar psikolog yang berpraktik di Kawasan Kelapa Gading ini.
Penyebab seorang anak mengalami keterbelakangan mental ini disebabkan beberapa hal. Antara lain dari dalam dan dari luar. Jika dari dalam adalah karena faktor keturunan.
Sedangkan dari luar memiliki banyak penyebab. Penyebab dari luar ada beberapa faktor. Satu di antaranya karena maternal malanutritisi (malanutrisi pada ibu). Ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang tidak menjaga pola makan yang sehat, keracunan atau efek substansi.
Hal tersebut bisa memicu kerusakan pada plasma inti, kerusakan pada otak waktu kelahiran, gangguan pada otak. Misalnya tumor otak, bisa juga karena gangguan fisiologis seperti down syndrome.
“Penyebab dari luar juga bisa. Misalnya karena pengaruh lingkungan dan kebudayaan. Biasanya ini terjadi pada anak yang dibesarkan di lingkungan yang buruk. Kasus abusif, penolakan atau kurang stimulasi yang ekstrem dapat berakibat pada keterbelakangan mental,” katanya.
Pada umumnya, anak-anak yang berkebutuhan khusus dan sebagian anak normal mengembangkan suatu bentuk perilaku yang perlu perhatian dan penanganan secara khusus dan hati-hati.
Perilaku tersebut bisa saja terjadi karena anak merasa frustrasi tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan kata-kata yang komunikatif agar dipahami orang lain. Akhirnya amarahnya meledak dan mengamuk.
“Banyak anak berkebutuhan khusus mengalami masalah serius dalam pengendalian perilaku dan memerlukan bantuan untuk mengendalikan ledakan-ledakan perilaku agresif, yang tidak relevan dengan situasi sosial sehari-hari,” papar ibu dua anak ini.
Dokter ahli kejiwaan Dr Ika Widyawati SpKJ (K) mengatakan, anak yang perlu penanganan khusus tidak harus belajar di sekolah khusus. Mereka bisa saja disekolahkan di sekolah umum bersama anak normal lainnya.
“Jika anak disekolahkan di sekolah umum, itu adalah langkah yang tepat dilakukan orang tua asalkan mereka bisa mengikuti pelajarannya,” ujar Kepala Divisi Psikiatri Anak Departemen Psikiatri FKUI/RSCM tersebut.

Anak Berkebutuhan Khusus Meningkat


JAKARTA - Anak berkebutuhan khusus (ABK) diyakini mengalami peningkatan. Saat ini, menurut pemerhati anak, Dr Seto Mulyadi, penyandang ABK di Indonesia diperkirakan satu dari 250 kelahiran.Di Australia, lanjut Seto, peningkatannya lebih tinggi lagi. "Perbandingannya satu dari 50 kelahiran," tuturnya dalam acara launching Au-tism Care Indonesia (ACI) di Citywalk Function Hall, Sudirman, Jakarta, Sabtu (3/4).
Launching ACI ini, dalam pandangan Seto, adalah momen yang tepat sebagai blue print arah dunia pendidikan ABK. Dia mengakui, bagi orang tua, hal yang berat adalah menerima diagnosis anaknya menyandang ABK. Namun, yang paling penting, menurut dia, ABK bisa diterapi.Seto mengatakan, dalam menerapi ABK, perlu kerja sama intersektoral, lalu memberdayakan orang tua dan ABK itu sendiri. Dalam hal ini, ABK bukan hanya dilihat sebagai objek yang dilayani, tapi juga perlu diberdayakan. "Banyak ABK yang cerdas, tapi tak berkembang karena masalah komunikasi. Jadi, melatih komunikasi ABK sangat penting untuk tugas para orang tua," tuturnya.
Meningkatnya populasi ABK di Indonesia dinilai tidak berbanding lurus dengan ketersediaan lembaga pendidikan yang menanganinya. Lembaga semacam ini dianggap masih minim.Kenyataan inilah yang mendasari Yayasan Cinta Harapan Indonesia (YCHI)- sebuah lembaga yang didirikan dari keluarga yang mempunyai ABK-meluncurkan Autism Care Indonesia (ACI). Ini adalah sebuah program yang membantu memberikan terapi secara gratis kepada ABK untuk keluarga tidak mampu.
Program yang selaras dengan peringatan Hari Autis Sedunia itu menyedot perhatian kurang lebih seribu peserta. Mereka berasal dari klinik tumbuh kembang, orang tua anak ABK, perwakilah dari sekolah-sekolah inklusi, dan beberapa lembaga terkait lainnya.Ketua YCHI, Zulfikar Alimuddin, mengatakan, orang tua dari keluarga mampu pun sulit merawat anak yang diberi kelebihan khusus dari Allah. Dia mengungkapkan, ide membuat acara ini sudah ada sejak 18 bulan yang lalu. Kemudian, sekitar April-Mei 2009, didirikan YCHI. Program ini dibuat untuk membantu ABK secara berkelanjutan.
Awalnya, kata dia, banyak orang yang meragukan niat ini karena bantuan kepada ABK gratis. Ada yang bertanya, bagaimana caranya? "Tapi, kita yakin bahwa yang kita lakukan ini tujuannya baik. Jika dilakukan dengan cara yang baik, Allah pasti membantu," ujarnya.Zulfikar mengatakan, tugas ke depan yayasan ini akan berat karena merupakan organisasi nonprofit. Namun, dia tetap optimis mengadvokasi, memberikan informasi, dan melakukan aksi sosial terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan anak berkebutuhan khusus.Dia juga yakin akan menjalankan organisasi ini sehingga menjadi kredibel.cO6. ed burhan

Wednesday, May 5, 2010

Gara-gara Anak Tunagrahita

"Pak Zainal, sabar ya. Sepertinya anak Bapak memiliki kelainan," kata seorang rekan kerjanya, yang kebetulan dokter di Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Jawa Barat, beberapa hari setelah istrinya melahirkan anak keduanya, Rima Nur Yuliyanti, 17 Juli 1988.
Zainal Arifin (48) yang saat itu bekerja sebagai staf perencanaan di kantor tersebut amat sedih mendengar pernyataan rekannya. Ia mengerti apa yang tersurat dari kata-kata itu; bayinya berkebutuhan khusus.
Dari fisiknya sudah jelas, bayinya adalah tunagrahita. Makin besar tubuhnya, makin mudah mengidentifikasi ketunagrahitaan itu. Secara umum, kata Zainal, fisik orang tunagrahita antara lain berambut kaku, tangannya gemuk seperti bayi tetapi kasar, lidahnya tebal serta pendek jika dijulurkan, alisnya tebal kaku, dan beberapa anak biasanya bermata sipit seperti orang mongol.
Kenyataan itu menyeret Zainal pada bayangan buruk tentang masa depan anaknya yang amat gelap. Orang awam selalu mengira, jangankan untuk belajar, bekerja, atau memiliki keturunan, merawat diri saja penyandang tunagrahita tidak akan bisa.
Pikiran-pikiran inilah yang menyebabkan Zainal mengalami depresi. Ia mengunjungi psikiater dan menelan obat-obatan penenang karena setiap malam selalu gelisah dan menangis memikirkan nasib anak perempuannya yang selalu ia panggil Ima.
Apa yang terjadi padanya ternyata tidak membantunya keluar dari masalah. Apalagi gajinya sebagai pegawai negeri sipil saat itu hanya Rp 45.000 per bulan. Padahal, kebutuhan rumah tangga mencapai Rp 100.000 sampai Rp 150.000 per bulan, sebab Rima membutuhkan berbagai terapi untuk bisa tumbuh dan berkembang sesuai kemampuan tubuh dan jiwanya.
Pengobatan rutin untuk anak tunagrahita terus dilakukannya terhadap anaknya, meskipun sangat mahal karena membutuhkan dokter-dokter spesialis, terutama dokter syaraf, psikiater, dan psikolog.
Kerja serabutan
Tak ingin terjebak dalam masalah tanpa solusi, suami Aan Rostiati (43) yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa di Kota Bandung ini segera berjuang untuk membangun masa depan anaknya. Di dalam doanya, ia berkata, "Jika aku berhasil, aku bertekad akan membantu Ima dan teman-temannya."
Pekerjaan apa pun dilakukannya. Sepulang bekerja di Kanwil Departemen Kesehatan sekitar pukul 14.00, Zainal langsung menawarkan diri menjadi pembantu tukang bangunan untuk mendapatkan upah Rp 1.000 per hari. Upah itu amat berharga demi pengobatan Ima.
Jika tidak ada pekerjaan bidang bangunan, ia menjadi sopir angkutan umum jurusan Ciroyom-Sukajadi. Zainal-lah yang pertama membuka jurusan ini. Ketika itu, dia melihat banyak warga membutuhkan jurusan ini, tetapi tidak ada transportasi umum yang melintas di tempat tersebut. Ia bekerja sebagai sopir sampai pukul 20.00.
Karena uang pengobatan masih juga kurang, ayah dari Yopi Nurdiyansyah (24), Ima (18), Debi Nur Sustiyanti (16), dan Noviyanti Nur Fadiyah (5) ini pun beralih menjadi sopir colt jurusan Bandung-Cikampek. Penghasilannya lebih banyak karena ia bekerja hingga pukul 24.00. Namun, jika ada tawaran menjadi pembantu tukang bangunan, ia tetap menerimanya.
Suatu hari pada tahun 1996, seorang dokter di kantornya meminta Zainal membangun rumahnya. Zainal yang awalnya hanya pembantu tukang bangunan segera menolak karena tidak percaya diri. Namun, dokter tersebut ngotot. Zainal pun akhirnya yakin dan menjalankan proyek tersebut. Diajaknya beberapa temannya sesama tukang bangunan.
Entah kenapa, Zainal kemudian dikenal sebagai kontraktor. Ia banyak mendapatkan order membangun rumah. Ia pun bekerja sama dengan adiknya yang kuliah di Desain Interior, Institut Teknologi Bandung untuk membantu mendesain konsep rumah yang ada di pikirannya.
"Sejak saat itu, rezeki saya seperti roket," kata Zainal, bersyukur dan memutuskan berhenti jadi pegawai negeri.
Bangun sekolah
Zainal ingat tekadnya. Ketika Ima bersekolah di sekolah luar biasa (SLB), ia merasa tak cocok terhadap kurikulum yang diberikan sekolah karena terkesan terlalu akademik. Padahal, kebutuhan anak tunagrahita adalah keterampilan. Melalui keterampilan, kecerdasan anak tunagrahita akan melaju dengan baik.
Berangkat dari ketidakpuasannya, Zainal lalu membangun SLB Asih Manunggal di Jalan Singaperbangsa, Kota Bandung. Ia menerima murid dari berbagai kalangan. Di sekolah yang sederhana itu ia leluasa mengolaborasikan kurikulum pemerintah dengan kurikulum yang diciptakan para orangtua siswa.
Berbagai ide untuk memberdayakan anak-anak tunagrahita mengalir dari para orangtua. Zainal juga membangun "kantin kurikulum" bagi siswa.
Pukul 08.00 anak-anak dibimbing oleh guru melakukan berbagai keterampilan seperti membuat jajanan gorengan, lalu dijual kepada orangtua di sekolah. "Dengan praktik langsung, anak mudah belajar matematika. Mereka tahu, kalau membeli tujuh gorengan seharga Rp 50, maka pembeli harus membayar Rp 350," kata Zainal.
Lewat kantin pula, anak-anak belajar bahasa Inggris. Banyak merek makanan dan minuman berbahasa Inggris. Saat itulah guru memperkenalkannya, dan mereka menyimpan pengetahuan baru itu dengan baik karena tahu esok hari kemungkinan ada yang menanyakan nama barang tersebut. Mereka juga mulai belajar mengenal huruf dan angka dari bungkus makanan. Tak hanya itu, mereka juga mengenal harga diri karena dilatih untuk bekerja.
Selain membuat jajanan gorengan, anak-anak juga diajarkan berbagai keterampilan lain seperti merias diri, membungkus barang, membuat keset, telur asin, dan lainnya.
Dengan uang pribadinya, Zainal dan para orangtua tunagrahita sering jalan-jalan ke pelosok Jawa Barat mencari anak tunagrahita yang tidak mampu. "Hampir sebagian besar anak tunagrahita lahir dari keluarga tidak mampu sehingga tidak bisa sekolah dan dikembangkan potensinya," ungkap Zainal, yang kini merupakan anggota badan pendiri Persatuan Orangtua Tunagrahita Indonesia.
Ia dan teman-temannya pernah menemukan seorang anak tunagrahita di Cimahi yang dikurung dari pukul 08.00 sampai pukul 16.00 karena tak ada yang menjaga. Ibunya yang miskin harus bekerja di pabrik kerupuk dengan penghasilan Rp 10.000 per hari.
Bersama orangtua lain, ia berhasil menggalang dana bantuan yang diwujudkan dengan membuatkan warung untuk ibu tersebut; dengan demikian ia tidak perlu ke luar rumah dan bisa merawat anaknya lebih intensif.
"Kami para orangtua tunagrahita percaya, jika kami menyayangi anak-anak tunagrahita lain, suatu hari ketika kami sudah tiada, ada orang lain yang mengasihi anak-anak kami," ungkap Zainal yang anaknya kini menjadi penari bali klasik dan sering diundang berpentas.
Sumber: Gara-gara Anak Tunagrahita oleh Yenti Aprianti - Kompas, Sabtu, 26 Agustus 2006

Besok, Anak Tunanetra Se-Sulsel Ikut Olimpiade SLB SD-SMP

Senin, 26 April 2010 | 23:39 WITA
MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM -- Puluhan pelajar dari Sekolah Luar Biasa (SLB) tingkat SD dan SMP mengikuti olimpiade SLB SD-SMP tingkat Provinsi Sulawesi Selatan di Hotel Aldes, Makassar, Senin (26/4). Peserta olimpiade ini pun tampak bersemangat menyelesaikan soal-soal yang diberikan juri.


    Peserta untuk tingkat SD matematika diikuti oleh sembilan peserta. Mereka semuanya adalah pelajar tunanetra. Untuk kategori SD IPA, diikuti oleh tujuh peserta. Pesertanya ada yang tuna rungu, tuna daksa, dan tuna netra.
    Sementara untuk peserta matematika SMP, dikuti lima peserta. Seorang di antaranya adalah tuna netra dan empat tuna rungu.
    Salah seorang tim juri, Jalaluddin Mulbar MPd yang juga Kepala Humas Universitas Negeri Makassar (UNM), mengatakan, sebagian besar peserta merupakan siswa SLB dari Makassar. Olimpade SLB SD-SMP ini digelar selama dua hari, yang berakhir Selasa (27/4) hari ini. (ana)

Saturday, May 1, 2010

Anak Tuna Rungu Diperkosa Temannya

Taufik Wijaya - detikNews

Palembang - Sungguh memilukan hati moral anak-anak ini. Tiga siswa Sekolah Dasar (SD) dilaporkan ke polisi karena diduga memerkosa teman satu sekolahnya sendiri, di Cematan Buay Madang, Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan.

Anak perempuan yang menjadi korban, sebut saja Bunga (10), yang cacat tuna rungu. Siswa SD kelas 3 Desa Negeri Ratu, Kecamatan Bunga Mayang, Kabupaten OKU Timur, ini diperkosa tiga teman sekolahnya. Bahkan Bunglaa sempat dipaksa melakukan oral seks.

Peristiwa tersebut sebetulnya terjadi pada Selasa (14/04/2009) ketika Bunga pulang dari sekolah sekitar pukul 11.00 WIB. Di tengah perjalanan pulang dengan berjalan kaki, Bunga dicegat tiga teman satu sekolah yakni Irh (10) teman sekelasnya, Cdr (13) kelas 6 dan Sah (11) kelas 4. Saat itulah, menurut Bunga, dia diseret di semak-semak pinggir jalan desa, dan diperkosa bergilir ketiga teman sekolahnya itu. Kepala Bunga pun kena pukulan salah satu pelaku karena mencoba melawan.

Sejak Rabu (15/04/2009) kemarin, ketiga pelaku ditahan di Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) Timur. Namun, saat diperiksa hingga hari ini, Kamis (16/04/2009), Cdr mengaku tidak melakukan perkosaan.

"Kami tidak melakukan yang itu, memang kami balik sekolah itu beriringan dan dia (Bunga) sempat kami ganggu dengan kata-kata, setelah itu dia lari pulang melewati jalan pintas, kami terus balik ke rumah masing-masing kami tidak pernah melakukannya,” katanya.

Namun berselang beberapa jam kemudian, menurut Cdr, dirinya dikejutkan dengan kedatangan ayah korban yang langsung marah-marah dan mencari orangtuanya. Ayah Bunga mengatakan bahwa dirinya telah memperkosa Bunga. "Aku bae tekejut, kok aku dituduh bapaknyo ngituke anaknyo," tutur Cdr dalam bahasa setempat.

Bahkan dari cerita korban, menurut Sobirin, bapak Bunga, anaknya dipaksa salah satu dari pelaku untuk melakoni adegan oral seks di semak-semak.

Mendengar cerita korban yang masih polos dan lugu itulah lantas Sobirin mencari tahu siapa yang telah memperkosanya. Karena didesak terus, Bunga lalu menuliskan nama pelaku pada secarik kertas yakni Cdr, Irh dan Sah.

Berbekal kopelan dan pengakuan korban ini lantas orangtua korban mendatangi kediaman ketiganya. Namun justru dirinya mendapatkan ancaman dari orangtua ketiga pelaku. Bahkan salah satu dari orangtua pelaku berani bersumpah kalau anaknya tidak melakukan perbuatan memalukan tersebut. "Dari nama yang ditulisnya aku sangat yakin pelakunya tidak lain tiga orang itu," kata Sobirin.

Untuk membuktikan pengakuan Bunga, Sobirin pun pada Selasa (14/4) sore membawanyan ke Puskesmas Martapura untuk mengecek kondisi kepala putrinya yang terasa sakit dan pusing setelah dipukul salah satu dari pelaku ketika aksi pemerkosaan ini terjadi.

"Awalnya aku ke Puskesmas Martapura itu bukan untuk visum namun mengecek kondisi kepalanya yang katanya sakit. Entah mengapa setibanya di puskesmas justru timbul niat aku untuk memeriksakan alat vitalnya," jelas Sobirin.

Karena tidak ada surat pengantar visum dari Polres, petugas puskesmas pun enggan melakukan visum sore itu, karena itulah kasus ini dilaporkannya ke Polres OKUT dan meminta untuk dilakukan visum. Dari hasil visum diketahui telah terjadi robek pada alat vital korban.

Aparat Polres OKUT langsung menindaklanjuti laporan Sobirin, dan pada Rabu (15/4) pagi petugas berhasil meringkus ketiga pelaku untuk diperiksa. Ketiganya masih mengenakan seragam sekolah putih merah didampingi orangtuanya masing-masing, sejumlah saksi serta diantar juga oleh perangkat desa.

"Tiga orang siswa yang diduga kuat telah memperkosa korban kini sudah kita panggil untuk dimintai keterangan dengan didampingi orangtua dan pejabat desa yang bersangkutan," kata Kapolres OKUT AKBP ML John Mangundap SH SIK kepada pers di Martapura, Kamis (16/04/2009).

Menurut Surachman karena ketiga pelaku masih di bawah umur dalam pemeriksaan perlu didampingi orangtua masing-masing. "Sejauh ini kita masih melakukan pemeriksaan. Yang jelas kasus ini akan kita ungkap dan jika nanti terbukti, tidak menutup kemungkinan pelaku akan ditahan," katanya.

Keluarga

Menurut Yenni Izi, direktur Woman Crisis Centre (WCC) Palembang, kasus kekerasan seksual terhadap anak cukup tinggi di Sumsel. "Selama setahun kemarin, sekitar 100 lebih kasus yang korbannya anak-anak dan pelakunya anak-anak cukup sering terjadi," kata Yenni.

Menurut Yenni, persoalan kasus kekerasan seksual terhadap anak ini sebagai dampak dari pola pendidikan di rumah maupun di sekolah. "Ini membuktikan ada yang salah dalam mendidik anak. Anak-anak yang melakukan tindakan itu, bisanya belajar dari lingkungan atau informasi yang didapatnya," kata Yenni.

"Orangtua dan masyarakat harus perhatian yang lebih terhadap perkembangan anak-anak di lingkungannya," ujar Yenni. (tw/djo)
 
Palembang - Sungguh memilukan hati moral anak-anak ini. Tiga siswa Sekolah Dasar (SD) dilaporkan ke polisi karena diduga memerkosa teman satu sekolahnya sendiri, di Cematan Buay Madang, Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan.

Anak perempuan yang menjadi korban, sebut saja Bunga (10), yang cacat tuna rungu. Siswa SD kelas 3 Desa Negeri Ratu, Kecamatan Bunga Mayang, Kabupaten OKU Timur, ini diperkosa tiga teman sekolahnya. Bahkan Bunglaa sempat dipaksa melakukan oral seks.

Peristiwa tersebut sebetulnya terjadi pada Selasa (14/04/2009) ketika Bunga pulang dari sekolah sekitar pukul 11.00 WIB. Di tengah perjalanan pulang dengan berjalan kaki, Bunga dicegat tiga teman satu sekolah yakni Irh (10) teman sekelasnya, Cdr (13) kelas 6 dan Sah (11) kelas 4. Saat itulah, menurut Bunga, dia diseret di semak-semak pinggir jalan desa, dan diperkosa bergilir ketiga teman sekolahnya itu. Kepala Bunga pun kena pukulan salah satu pelaku karena mencoba melawan.

Sejak Rabu (15/04/2009) kemarin, ketiga pelaku ditahan di Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) Timur. Namun, saat diperiksa hingga hari ini, Kamis (16/04/2009), Cdr mengaku tidak melakukan perkosaan.

"Kami tidak melakukan yang itu, memang kami balik sekolah itu beriringan dan dia (Bunga) sempat kami ganggu dengan kata-kata, setelah itu dia lari pulang melewati jalan pintas, kami terus balik ke rumah masing-masing kami tidak pernah melakukannya,” katanya.

Namun berselang beberapa jam kemudian, menurut Cdr, dirinya dikejutkan dengan kedatangan ayah korban yang langsung marah-marah dan mencari orangtuanya. Ayah Bunga mengatakan bahwa dirinya telah memperkosa Bunga. "Aku bae tekejut, kok aku dituduh bapaknyo ngituke anaknyo," tutur Cdr dalam bahasa setempat.

Bahkan dari cerita korban, menurut Sobirin, bapak Bunga, anaknya dipaksa salah satu dari pelaku untuk melakoni adegan oral seks di semak-semak.

Mendengar cerita korban yang masih polos dan lugu itulah lantas Sobirin mencari tahu siapa yang telah memperkosanya. Karena didesak terus, Bunga lalu menuliskan nama pelaku pada secarik kertas yakni Cdr, Irh dan Sah.

Berbekal kopelan dan pengakuan korban ini lantas orangtua korban mendatangi kediaman ketiganya. Namun justru dirinya mendapatkan ancaman dari orangtua ketiga pelaku. Bahkan salah satu dari orangtua pelaku berani bersumpah kalau anaknya tidak melakukan perbuatan memalukan tersebut. "Dari nama yang ditulisnya aku sangat yakin pelakunya tidak lain tiga orang itu," kata Sobirin.

Untuk membuktikan pengakuan Bunga, Sobirin pun pada Selasa (14/4) sore membawanyan ke Puskesmas Martapura untuk mengecek kondisi kepala putrinya yang terasa sakit dan pusing setelah dipukul salah satu dari pelaku ketika aksi pemerkosaan ini terjadi.

"Awalnya aku ke Puskesmas Martapura itu bukan untuk visum namun mengecek kondisi kepalanya yang katanya sakit. Entah mengapa setibanya di puskesmas justru timbul niat aku untuk memeriksakan alat vitalnya," jelas Sobirin.

Karena tidak ada surat pengantar visum dari Polres, petugas puskesmas pun enggan melakukan visum sore itu, karena itulah kasus ini dilaporkannya ke Polres OKUT dan meminta untuk dilakukan visum. Dari hasil visum diketahui telah terjadi robek pada alat vital korban.

Aparat Polres OKUT langsung menindaklanjuti laporan Sobirin, dan pada Rabu (15/4) pagi petugas berhasil meringkus ketiga pelaku untuk diperiksa. Ketiganya masih mengenakan seragam sekolah putih merah didampingi orangtuanya masing-masing, sejumlah saksi serta diantar juga oleh perangkat desa.

"Tiga orang siswa yang diduga kuat telah memperkosa korban kini sudah kita panggil untuk dimintai keterangan dengan didampingi orangtua dan pejabat desa yang bersangkutan," kata Kapolres OKUT AKBP ML John Mangundap SH SIK kepada pers di Martapura, Kamis (16/04/2009).

Menurut Surachman karena ketiga pelaku masih di bawah umur dalam pemeriksaan perlu didampingi orangtua masing-masing. "Sejauh ini kita masih melakukan pemeriksaan. Yang jelas kasus ini akan kita ungkap dan jika nanti terbukti, tidak menutup kemungkinan pelaku akan ditahan," katanya.

Keluarga

Menurut Yenni Izi, direktur Woman Crisis Centre (WCC) Palembang, kasus kekerasan seksual terhadap anak cukup tinggi di Sumsel. "Selama setahun kemarin, sekitar 100 lebih kasus yang korbannya anak-anak dan pelakunya anak-anak cukup sering terjadi," kata Yenni.

Menurut Yenni, persoalan kasus kekerasan seksual terhadap anak ini sebagai dampak dari pola pendidikan di rumah maupun di sekolah. "Ini membuktikan ada yang salah dalam mendidik anak. Anak-anak yang melakukan tindakan itu, bisanya belajar dari lingkungan atau informasi yang didapatnya," kata Yenni.

"Orangtua dan masyarakat harus perhatian yang lebih terhadap perkembangan anak-anak di lingkungannya," ujar Yenni. (tw/djo)